Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Bank dan Nasabah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
[1] Bank terdiri atas dua jenis, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (“BPR”).
[2] Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
[3] Sementara BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
[4]
Adapun pihak yang menggunakan jasa bank disebut sebagai nasabah.
[5] Secara umum, nasabah dibagi ke dalam dua kategori, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
[6] Sementara nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
[7] Karena sejak semula pertanyaan Anda berkaitan dengan simpanan di bank, maka ulasan ini akan berfokus pada nasabah penyimpan.
Perjanjian Penyimpanan Dana
Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
[8] Simpanan sendiri adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
[9]
Lebih lanjut, pengertian dari masing-masing bentuk simpanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Giro, adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
[10]Deposito, adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank.
[11]Sertifikat Deposito, adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
[12]Tabungan, adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
[13]
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa hubungan hukum antara masyarakat pengguna bank (nasabah) dan bank sendiri didasarkan pada perjanjian penyimpanan dana. Sayangnya, UU 7/1992 dan perubahannya tidak merinci lebih lanjut mengenai bentuk perjanjian penyimpanan itu sendiri.
Menurut Tan Kamelo, sebagaimana dikutip oleh Trisadini P Usanti dan Abd. Shomad, dalam buku Hukum Perbankan (hal. 39), perjanjian penyimpanan memiliki karakteristik sebagai perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst, innominaat contracten) dengan ciri-ciri:
Perjanjian simpanan bersifat riil, artinya perjanjian tidak cukup diperlukan kesepakatan saja tetap nasabah penyimpan harus menyerahkan uang kepada bank untuk disimpan;
Uang yang diserahkan menjadi milik bank dan penggunaannya menjadi wewenang penuh dari bank;
Hubungan hukumnya adalah bank berkedudukan sebagai debitor dan nasabah penyimpan berkedudukan sebagai kreditor;
Bank bukanlah sebagai peminjam uang dari nasabah penyimpan;
Nasabah penyimpan bukan sebagai penitip uang pada bank;
Bank akan mengembalikan simpanan nasabah dengan kotraprestasi berupa pemberian bunga.
Penggunaan Simpanan Nasabah untuk Usaha Bank
Dengan demikian, menurut hemat kami, adanya perjanjian penyimpanan antara Anda dan bank mengondisikan bank untuk memiliki wewenang penuh atas simpanan Anda. Namun demikian, Anda tidak berarti kehilangan hak atas simpanan tersebut. Bank akan mengembalikan simpanan Anda dengan kotraprestasi berupa pemberian bunga.
Sebagai bentuk penggunaan simpanan nasabah, Bank Umum diperkenanankan untuk menjalankan usaha, di antaranya memberikan kredit, menerbitkan surat pengakuan hutang, serta membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya beberapa jenis surat berharga, yaitu:
[14]Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
Obligasi;
Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
Bank juga menjalankan usaha berupa memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah, serta menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
[15]
Sekalipun memiliki wewenang penuh terhadap simpanan Anda, UU 7/1992 dan perubahannya beserta peraturan perundang-undangan lainnya memiliki skema untuk memastikan hak Anda sebagai nasabah terpenuhi. Di antaranya, Anda berhak atas
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Trisadini P Usanti dan Abd. Shomad. Hukum Perbankan. Jakarta: Kencana, 2016.
[1] Pasal 1 angka 2 UU 10/1998
[2] Pasal 5 ayat (1) UU 7/1992
[3] Pasal 1 angka 3 UU 10/1998
[4] Pasal 1 angka 4 UU 10/1998
[5] Pasal 1 angka 16 UU 10/1998
[6] Pasal 1 angka 17 UU 10/1998
[7] Pasal 1 angka 18 UU 10/1998
[8] Pasal 6 huruf a UU 10/1998
[9] Pasal 1 angka 5 UU 10/1998
[10] Pasal 1 angka 6 UU 10/1998
[11] Pasal 1 angka 7 UU 10/1998
[12] Pasal 1 angka 8 UU 10/1998
[13] Pasal 1 angka 9 UU 10/1998
[14] Pasal 6 huruf b, c, dan d UU 7/1992
[15] Pasal 6 huruf e dan f UU 7/1992