Waalaikum salam wr. wb.,
1. Hukum mengakui dan mengatur perkawinan seorang wanita yang hamil di luar nikah atau yang disebut kawin hamil. Dalam pasal 53 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan, seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya (pasal 53 ayat [2] KHI). Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir (pasal 53 ayat [3] KHI).
Hukum mengatur secara ketat dan rinci mengenai alasan perceraian. Suami atau istri harus mempunyai alasan yang kuat sebelum memutuskan untuk bercerai. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) disebutkan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri (pasal 39 ayat [2] UUP).
Dalam pasal 116 KHI dijelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
- salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
- salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
- salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
- antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
- Suami melanggar taklik talak;
- peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Jika Anda memiliki satu atau lebih alasan untuk bercerai seperti diuraikan di atas, maka Anda berhak mengajukan permohonan talak ke Pengadilan Agama. Namun, jika Anda tidak memiliki alasan seperti disebutkan di atas, maka melanjutkan perkawinan dan membina rumah tangga yang bahagia dan kekal mudah-mudahan merupakan pilihan yang baik bagi Anda dan istri.
2. Putus perkawinan karena perceraian tidak menghapus kewajiban ibu dan bapak untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Demikian ketentuan Pasal 41 huruf a UUP yang berbunyi, Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. Biasanya untuk yang beragama Islam pengadilan memberikan hak asuh anak yang di bawah umur kepada ibu. Hal ini berdasarkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, di mana anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya.
Pihak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak adalah bapak. Demikianlah ketentuan yang diatur Pasal 41 huruf b UU Perkawinan yang selengkapnya berbunyi, Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Selanjutnya, Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kemudian, Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Peraturan perundang-undangan terkait :
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)