Saya pria usia 27 tahun dan sudah berkeluarga. Baru-baru ini saya menjalin hubungan gelap dengan seorang wanita yang sudah mempunyai keluarga. Pernah sekali saya diajak nikah sirri dengan wanita tersebut, agar ke depannya jika saya berhubungan tidak menimbulkan suatu dosa. Saya belum berani memenuhi kemauannya, karena saya sadar hubungan saya ini adalah hubungan terlarang. Tetapi di sisi lain saya juga masih sayang terhadap keluarga saya. Apa jadinya jika mereka tahu hubungan terlarang saya? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Sebagaimana diketahui, di Indonesia perihal perkawinan tunduk kepada aturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(“UU No.1/74”). Perkawinan di undang-undang ini diartikan sebagai sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut UU No.1/74 adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu (Pasal 2 ayat 1 UU No.1/74).
Dengan kata lain, perkawinan adalah sah apabila memenuhi syarat-syarat atau rukun-rukun yang ditentukan di dalam hukum agama. Sementara pencatatan perkawinan pada Kantor Urusan Agama bukanlah syarat sahnya perkawinan, melainkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No.1/74 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan merupakan bukti telah terjadi/berlangsungkan sebuah perkawinan. Dengan adanya pencatatan ini, maka suami dan istri selanjutnya memperoleh kutipan akta perkawinan atau lebih populer di masyarakat dengan istilah “buku nikah”. Kutipan Akta Perkawinan merupakan bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan sekaligus bukti yang memberikan kedudukan hukum yang jelas terhadap suami, istri, dan anak-anak yang yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Oleh karena, negara sangat menganjurkan sebuah perkawinan yang telah dilakukan menurut agama tersebut, kemudian dicatatkan di Kantor Urusan Agama, untuk tujuan memberikan perlindungan hukum terhadap status dan hak-hak suami, istri, serta anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan sah tersebut.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan nikah sirri, secara bahasa berasal dari kata “sirri” atau “sir” yang bermakna rahasia, dan berarti tidak ditampakkan. Nikah sirri apabila dikaitkan dengan UU No.1/74 adalah perkawinan yang dilakukan secara agama namun tidak dicatatkan sebagaimana amanat ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/74. Nikah sirri dalam perspektif Islam adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan Hukum Islam, yaitu memenuhi syarat atau rukun nikah. Syarat sah dan rukun nikah tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a.Calon Suami
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
b.Calon Isteri
c.Wali Nikah
d.Dua orang saksi dan
e.Ijab dan kabul
Dengan demikian, apabila syarat dan rukun nikah tersebut terpenuhi, nikah sirri sah menurut ketentuan Hukum Islam. Namun demikian, harus pula dipahami bahwa UU No. 1/74 menganut asas monogami dan tidak menganut asas poliandri, yang artinya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Tetapi, UU No.1/74 memberikan izin bagi suami untuk memiliki lebih dari satu istri dengan berbagai persyaratan (Lihat Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 5 ayat (1) UU No.1/74).
Dalam kaitannya dengan pertanyaan Bapak yaitu “nikah sirri dengan wanita bersuami” maka menurut Hukum Islam, perkawinan tersebut hukumnya haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam Al Quran Surat An-Nisa ayat 22-24, dimana Allah SWT berfirman : “ ... dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu....”. Dengan demikian, menurut hemat kami, perkawinan dengan wanita bersuami adalah bertentangan dengan Hukum Islam dan karenanya perkawinan tersebut tidak sah dan berdosa apabila dilakukan.
Hal ini sejalan dengan pandangan Dr. Yusuf Qaradhawi, yang menyatakan bahwa wanita bersuami yang masih berada dalam lindungan suaminya tidak halal menikah dengan orang lain. Supaya halal menikah dengan laki-laki lain, maka harus terpenuhi dua syarat, yaitu :
1.Telah lepas dari tangan suami, baik karena meninggal dunia maupun karena talak (bercerai); dan
2.Telah habis iddah (masa tunggu-pen) yang diperintahkan oleh Allah. Selama dalam masa iddah tersebut masih dalam tanggung jawab suami terdahulu. Iddah tersebut antara lain :
a.Bagi wanita hamil ialah sampai ia melahirkan kandungannya;
b.Wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari; dan
c.Wanita yang ditalak (bukan dalam keadaan hamil) ialah tiga kali haid (hingga suci);
4.Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Referensi:
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram : Dilengkapi Takhrij Hadist oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin, Al Albani dan Tanggapan Balik Dr. Yusuf Qaradhaei, Jakarta : Robbani Press, 2002.