Bolehkah Pejabat Memiliki Istri/Suami WNA?
PERTANYAAN
Bolehkah gubernur atau menteri beristri WNA? Seperti gubernur Aceh, mantan menlu Marty, dan sekarang menteri perikanan, suaminya wong londo?
Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bolehkah gubernur atau menteri beristri WNA? Seperti gubernur Aceh, mantan menlu Marty, dan sekarang menteri perikanan, suaminya wong londo?
Karena Anda menyebut jabatan gubernur dan menteri, kami menyimpulkan bahwa maksud pertanyaan Anda adalah pejabat negara. Hal ini karena yang termasuk pejabat negara menurut Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) adalah:
e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, demikian yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD 1945”). Ini artinya, sudah menjadi hak setiap orang untuk menikah dengan siapapun sesuai kehendaknya dengan tujuan membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan.
Merujuk pada pertanyaan Anda tentang pejabat negara beristrikan warga negara asing (“WNA”), pada dasarnya perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia itu disebut perkawinan campuran sebagaimana disebut dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila seorang pejabat menikah dengan WNA, maka perkawinannya itu disebut perkawinan campuran.
Berdasarkan penelusuran kami, tidak ada larangan bagi pejabat negara untuk menikah dengan WNA. Dengan kata lain, pejabat negara tidak dilarang untuk menikah dengan WNA. Namun, hal itu menjadi masalah apabila dengan adanya perkawinan campuran itu, pejabat yang bersangkutan menjadi kehilangan kewarganegaraannya, yakni kewarganegaraan Indonesia.
Status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (“UU Kewarganegaraan”), yang berbunyi:
(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
Jika pejabat yang bersangkutan kehilangan kewarganegaraannya akibat perkawinan campuran sehingga tidak lagi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), maka ia tidak lagi memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pejabat negara.
Misalnya, dalam Pasal 22ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa syarat untuk seseorang diangkat sebagai Menteri adalah harus berstatus WNI.
Di samping itu, untuk menjadi gubernur, salah satu syaratnya adalah setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah. Misalnya, dalam Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”) diatur mengenai sumpah/janji kepala daerah yang berbunyi: “Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.”
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara;
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?