10 Catatan Penting LBH Jakarta terhadap UU TPKS
Terbaru

10 Catatan Penting LBH Jakarta terhadap UU TPKS

Seperti pengaturan jaminan ketidakberulangan sebagai asas UU tidak diatur tegas, tidak mengatur definisi beberapa jenis tindak pidana, hingga belum mengakomodir sejumlah hak korban terkait penanganan, perlindungan dan pemulihan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Sejumlah kalangan mengapresiasi kinerja DPR dan pemerintah yang telah mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kerja keras sepanjang satu dekade terakhir akhirnya membuahkan hasil.  Setidaknya Indonesia memiliki regulasi yang mengatur berbagai TPKS dan jaminan hak-hak korbannya.

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referandum mengatakan terlepas dari beragam apresiasi kinerja DPR dan pemerintah dalam mewujudkan keinginan publik dengan hadirnya UU TPKS, masih terdapat pekerjaan rumah yang tersisa. Setidaknya ada 10 catatan penting LBH Jakarta terhadap naskah terakhir RUU TPKS yang telah disahkan menjadi UU.

“Ada 10 catatan penting,” ujarnya melalui keterangan tertulis kepada Hukumonline, Rabu (13/4/2022).

Pertama, pengaturan jaminan ketidakberulangan dalam naskah UU tidak tegas diatur sebagai asas undang-undang. Dampak dari absennya asas tersebut pada kualitas beragam upaya pencegahan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Kedua, UU TPKS tidak mengatur tindak pidana aborsi.

Padahal catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 17 LBH se-Indonesia, terdapat 7 korban pemaksaan aborsi periode 2020. Sementara catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, terdapat 9 korban. Dalam rangka upaya perlindungan, diperlukan aturan yang menegaskan ‘tidak mempidana’ korban pemaksaan aborsi.

“Baik karena kedaruratan medis maupun kehamilan akibat kekerasan seksual,” kata dia.

Ketiga, UU TPKS tidak mengatur definisi beberapa tindak pidana. Seperti perkosaan, perkosaan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan pemaksaan pelacuran. Bagi LBH Jakarta, kata Citra, ketiadaan definisi tersebut berpotensi menimbulkan disparitas pemahaman atau multitafsir dalam implementasinya.

Keempat, hak korban terkait penanganan belum seluruhnya diakomodir. Seperti hak atas kemudahan mengakses layanan pengaduan; hak untuk menyampaikan keterangan dan pendapat secara bebas. Kemudian hak untuk mendapatkan izin meninggalkan pekerjaan dengan mendapat upah penuh; hak bebas dari pertanyaan menjerat; dan hak untuk tidak mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminasi.

Kelima, hak korban terkait perlindungan belum seluruhnya diakomodir, seperti hak untuk mendapatkan pemberdayaan hukum dan terlibat dalam proses pelaksanaan perlindungan; hak untuk mendapatkan layanan rumah aman; dan hak untuk mendapatkan informasi dalam hal tersangka atau terdakwa tidak ditahan atau terpidana akan selesai menjalani masa hukuman.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait