10 Catatan Penting LBH Jakarta terhadap UU TPKS
Terbaru

10 Catatan Penting LBH Jakarta terhadap UU TPKS

Seperti pengaturan jaminan ketidakberulangan sebagai asas UU tidak diatur tegas, tidak mengatur definisi beberapa jenis tindak pidana, hingga belum mengakomodir sejumlah hak korban terkait penanganan, perlindungan dan pemulihan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Keenam, hak korban terkait pemulihan juga belum seluruhnya diakomodir. Seperti hak atas pemulihan sosial budaya dan hak atas pemulihan politik. Kendati telah diatur pemulihan secara fisik, psikologi dan ekonomi, tapi UU TPKS belum menjamin kebutuhan korban dengan rinci. Misalnya, tidak adanya jaminan atas kebutuhan dasar yang layak; layanan keterampilan, modal usaha, dan/atau kemudahan akses mendapat pekerjaan yang layak, serta layanan kemudahan pemulihan kepemilikan harta benda.

Ketujuh, belum terakomodirnya beberapa hak keluarga korban. Seperti hak mendapatkan tempat tinggal sementara; hak atas pemberdayaan ekonomi keluarga dan perlindungan sosial. Kemudian hak untuk mendampingi keluarga yang menjadi korban, saksi dan pelapor kasus kekerasan seksual; hak mendapatkan dukungan akomodasi dan transportasi. Serta hak untuk tidak mendapatkan stigma dan diskriminasi.

Sekretaris LBH Jakarta, Tunggul Sri Haryanti melanjutkan poin selanjutnya. Kedelapan, UU TPKS tidak mengatur hak saksi dan ahli. Seperti hak atas informasi tentang hak dan kewajibannya sebagai saksi/ahli dalam proses peradilan perkara tindak pidana kekerasan seksual. Kemudian hak atas kerahasiaan identitas diri, keluarga, kelompok dan/atau komunitasnya. Tak hanya itu, ada pula hak untuk memperoleh surat pemanggilan yang patut, fasilitas atau biaya transportasi, dan/atau akomodasi selama memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana perkara tindak pidana kekerasan seksual.

“Hak atas layanan psikolog klinis atau dokter spesialis kesehatan jiwa bagi saksi; hak atas layanan bantuan hukum bagi saksi dan hak untuk mendapatkan layanan rumah aman bagi saksi,” ujar Sri.

Kesembilan, upaya pencegahan dalam UU TPKS pun masih belum lengkap. Bahkan, belum adanya aturan penyebarluasan informasi tentang penghapusan kekerasan seksual; menyediakan program dan anggaran untuk pencegahan kekerasan seksual. Termasuk membangun kebijakan penghapusan kekerasan seksual yang berlaku bagi lembaga negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.

Selanjutnya membangun komitmen penghapusan kekerasan seksual sebagai salah satu syarat dalam perekrutan, penempatan dan promosi jabatan pejabat publik. Kemudian memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi pejabat dan aparatur penegak hukum yang dikelola oleh negara.

“Dan membangun sistem data dan informasi kekerasan seksual yang terintegrasi dalam sistem pendataan nasional,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait