2 PP Pelaksana UU ITE Ini Krusial, Harus Segera Dibuat Pemerintah!
Seribu Wajah UU ITE Baru:

2 PP Pelaksana UU ITE Ini Krusial, Harus Segera Dibuat Pemerintah!

Pemerintah menargetkan PP akan selesai pada 2017 mendatang.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika. Foto: RES
Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika. Foto: RES
Pengesahan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah. Pasalnya, dari UU ITE yang memuat sejumlah ketentuan baru itu, belum ada peraturan pelaksanaan mengenai tata cara untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut.

Setidaknya, menurut peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, ada dua amanat Peraturan Pemerintah (PP) dalam UU ITE yang krusial untuk segera dibuat pemerintah. “PP untuk Pasal 26 terkait penghapusan informasi, right to be forgotten dan pemblokiran konten yang diamanatkan Pasal 40,”katanya kepada Hukumonline, Selasa (20/12). (Baca Juga: Konsep Right to be Forgotten Tak Berlaku untuk Produk Jurnalistik?)
Pasal 26 ayat (5)

Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 40 ayat (6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
Sumber: UU No. 19/2016

1.    PP tentang tata cara penghapusan informasi dan/atau dokumen elektronik

Pasal 26 UU No. 19/2016 pada intinya mengatur tentang penggunaan informasi data pribadi seseorang, hak menggugat atas kerugian akibat pelanggaran hak informasi data pribadi, serta kewajiban penyelenggara sistem elektronik untuk menghapus informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap tidak relevan berdasarkan penetapan pengadilan.

Namun, Wahyudi menganggap ketentuan penghapusan informasi atau dokumen elektronik itu justru menimbulkan kesimpangsiuran. Sebab, tidak ada penjelasan mengenai siapa penyelenggara sistem elektronik yang dimaksud, apakah berbasis pada search engine (mesin pencari) atau penyedia konten informasi atau dokumen elektronik.

Adapun Pasal 1 angka 6a hanya menjelaskan, penyelenggara sistem elektronik adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. (Baca Juga: Penerapan ‘Right to be Forgotten’ dalam UU ITE Dinilai Tak Relevan)

Selain itu, lanjut Wahyudi, Pasal 26 juga tidak menjelaskan mengenai bagaimana kategori informasi seperti apa saja yang bisa dihapus. Kemudian, di dalam konten atau medium apa saja informasi itu bisa dihapus dan bagaimana pengadilan menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang menetapkan suatu informasi elektronik dapat dihapus.

"Itu kan tanda tanya juga. Pertanyaan berikutnya, apakah pengadilan siap untuk menjalankan fungsi dan tugas ini? Bagaimana melakukan kategorisasi informasi mana yang bisa dihapus, mana yang tidak boleh, dan seterusnya. Jadi, saya sih malah melihat yang Pasal 26 soal hak atas penghapusan informasi implementasinya sulit," ujarnya.

Belum lagi persoalan mengenai tingginya kepentingan politik di balik penghapusan informasi atau dokumen tersebut. Wahyudi khawatir jika informasi atau dokumen elektronik yang diminta untuk dihapus justru malah bermanfaat bagi publik. "Ini kan tidak ada indikator yang jelas, kategorisasi informasi apa saja yang dapat dihapus. Itu menjadi problematik," imbuhnya. (Baca Juga: Right to be Forgotten, Lahir Prematur dalam UU ITE Baru)

Oleh karena itu, meski Wahyudi lebih sepakat jika penjelasan dan indikator-indikator diatur dalam undang-undang, ia berharap PP untuk Pasal 26 akan mengatur secara detail mengenai akuntabilitas, prosedur, dan tahapan-tahapan sebuah informasi dapat dihapus, seperti rezim UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang mengatur jelas mengenai informasi yang dapat dikecualikan untuk dibuka.

"Pasal 26 itu kan semata-mata dikatakan penghapusan informasi 'tidak relevan' yang prosesnya melalui penetapan pengadilan. Tapi, bentuknya apa, prosedurnya, proses akuntabilitas, dan komplain publiknya seperti apa kan tidak ada. Padahal, (dalam rezim UU Keterbukaan Informasi Publik/KIP) untuk mengecualikan suatu informasi itu ada beberapa tes, mulai potensial HAM tes sampai public interest test," terangnya.

2. PP tentang pemblokiran informasi atau dokumen elektronik
Pasal 40

(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
Sumber: UU No. 19/2016

Sebagaimana PP mengenai penghapusan informasi atau dokumen elektronik, PP tentang pemblokiran juga dianggap Wahyudi sangat krusial untuk segera dibahas. Ia berpendapat, UU ITE tidak mengatur jelas mengenai jenis-jenis atau kategorisasi konten apa saja yang dapat dilakukan tindakan pemblokiran atau pemutusan akses informasi atau dokumen elektronik. (Baca Juga: Ini Bedanya Konsep Right to be Forgotten di Indonesia dengan Negara Lain)

Walau Wahyudi lebih sepakat ketentuan-ketentuan semacam itu diatur dalam undang-undang, tetapi untuk menghindari kesimpangsiuran prosedur, PP bisa menjadi alternatif solusi. PP tersebut nantinya harus mengatur mengenai lembaga pemerintah mana yang melakukan pemblokiran, serta indikator, prosedur, dan tahapan-tahapan pemblokiran informasi atau dokumen elektronik. 

"Juga pemulihannya seperti apa jika terjadi kesalahan (pemblokiran). Itu jadi penting. Kayak sekarang pemerintah memblokir situs suara papua. Ketika ada komplain untuk melakukan normalisasi, sampai hari ini belum dilakukan normalisasi atau pemulihan. Artinya kan butuh kejelasan, akuntabilitas dari pemerintah yang diberikan wewenang dalam Pasal 40," tuturnya.

Terpisah, terkait PP untuk Pasal 26, Dosen Hukum Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Sinta Dewi Rosadi pun memberikan masukan. Ia meminta ada parameter yang jelas mengenai informasi apa yang bisa atau tidak bisa ditampilkan. Misalnya, informasi yang sudah tersebar ke publik, sudah menjadi milik publik, tidak bisa lagi menggunakan hak ini.

Kemudian, sambung Sinta, harus ada semacam batasan mengenai informasi yang bersifat pribadi. Seperti, pejabat negara dan public figure, yang karena pekerjaannya milik publik, tentu ada informasi yang bersifat publik. "Tapi informasi yang bersifat pribadi, misalnya hubungan dia dengan anak atau istrinya tentu bisa mendapat perlindungan tentang right to be forgotten," katanya.

“Jadi, memang PP-nya harus jelas betul supaya tidak terlalu luas. Dan khusus kepada search engine saja. Di Eropa itu sempit pengertiannya, di sana itu sebatas search engine. Yang namanya content provider, content application itu tidak kena. Berarti (nanti) PP tidak melanggar UU, tetapi nanti harus bisa menjelaskan aturan main. Nanti orang jadi kerepotan harus men-take down semua informasi," ujarnya.

Di lain pihak, terkait dengan amanat PP untuk Pasal 26 dan 40, Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Teguh Arifiyadi, mengaku belum ada draf yang dibuat oleh pemerintah. Namun, ia mengatakan, pemerintah akan mulai membuat kajian dan menargetkan PP akan selesai pada 2017 mendatang.

Khusus untuk PP tentang penghapusan informasi atau dokumen elektronik, Teguh sudah memiliki gambaran. Menurutnya, PP ini akan menjabarkan mekanisme penghapusan informasi atau dokumen elektronik, termasuk di dalamnya akan mengatur apa saja kewajiban penyelenggara sistem elektronik, apa kewajiban dari pemohon, hak dari pemohon, hak dari penyelenggara, dan bagaimana sanksinya.

"Berapa lama durasinya dan bagaimana mekanisme penetapan pengadilannya. Apakah nanti pengadilan yang menyediakan formulir atau apa. Kita akan buat sendiri saja kajian detailnya. Kami akan membuat kajian akademis melibatkan kampus. Kemungkinan kita akan buat kajian dengan melibatkan kampus. Tahun 2017 kita start buat kajiannya," tuturnya.

Ia menjelaskan, konsep right to be forgotten (hak untuk dilupakan) dalam Pasal 26 UU ITE tidak hanya bicara mengenai data pribadi, tetapi informasi apapun yang tidak relevan. Nanti, PP akan memperjelas soal apakah yang dimaksud dengan informasi atau dokumen elektronik yang tidak relevan. Hingga kini, pemerintah masih menunggu naskah akademik untuk PP tersebut.

Lebih lanjut, terkait Pasal 40 mengenai pemblokiran informasi atau data elektronik, Teguh menyatakan, selama ini pemerintah mengacu pada Peraturan Menteri Komunikasi dan informatika (Permenkominfo) No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif untuk menentukan konten-konten seperti apa saja yang harus diblokir, yang sifatnya urgent, dan mendesak.

Menurutnya, tidak semua konten yang diblokir atau dilarang pemerintah selalu melanggar aturan pidana, seperti konten bermuatan pornografi. Ada pula konten-konten lain yang meresahkan masyarakat, serta sifatnya urgent dan mendesak. Sebagai contoh, ada banyak permintaan blokir konten-konten yang diunggah oleh selebgram (selebriti di media sosial instagram).
Tags:

Berita Terkait