Penerapan ‘Right To Be Forgotten’ dalam UU ITE Dinilai Tak Relevan
Berita

Penerapan ‘Right To Be Forgotten’ dalam UU ITE Dinilai Tak Relevan

Karena bakal menimbulkan persoalan baru. Hanya segelintir orang yang berkepentingan yang memanfaatkan aturan tersebut. Misalnya menghilangkan rekam jejak informasi pribadi atas dugaan berbagai kasus yang terjadi.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
DPR telah menyetujui Revisi Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) menjadi UU. Menariknya, UU ITE teranyar menerapkan prinsip ‘right to be forgotten’.  Yakni, hak atas pengahapusan informasi.  Namun penerapan aturan tersebut justru dimungkinkan bakal menuai dampak panjang.

Ketua Badan Harian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, berpandangan definisi sistem elektronik sebagaimana tertuang dalam UU ITE amatlah luas. Makanya, bila diterapkan prinsip right to be forgotten bakal pula berdampak pada situs milik pemerintah.

Misalnya ketika seseorang dibebaskan dalam tindak pidana, kemudian dikabulkan permintaan penghapusan pemberitaan maupun informasi oleh pengadilan, maka tak saja situs yang memberitakan, namun juga berdampak pada situs milik pemerintah. Boleh jadi situs miliki instansi pemerintah menginformasikan data suatu jenis tindak pidana.

“Problemnya banyak situs yang terkait dengan kepentingan publik. Misanya data kejahatan di situs Mahkamah Agung. Mau tidak mau kan terekam di situs,” ujarnya kepada hukumonline di Jakarta, Rabu (2/11). (Baca Juga: 5 Alasan ICJR dan LBH Pers Tolak UU ITE Hasil Revisi)

Aturan penghapusan informasi elektronik diatur dalam Pasal 26 ayat (3) menyebutkan,” Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang ebrsangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”.

Sedangkan ayat (4) menyatakan, “Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektrnik dan/atau dokumen elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Menurutnya, penerapan aturan tersebut seolah mengadopsi dari negara-negara eropa. Namun di eropa, mereka hanya fokus terhadap search engine (mesin pencari), bukan situs. Media berita online pun boleh jadi bakal terkena dampaknya.

Ketika media memberitakan kasus kejahatan sesuai fakta yang didapat dari kepolisian serta institusi penegakan hukum lain misalnya, kemudian terdakwa dibebaskan di pengadilan. Lantas, mendapatkan penetapan pengadilan untuk menghapuskan berbagai informasi yang beredar terkait informasi seorang terdakwa di berbagai situs. (Baca Juga: DPR Setujui Revisi UU ITE Jadi UU)

“Kemudian fakta yang ditulis itu bagaimana. Buat saja, itu kajiannya pembuat undang-undang seberapa jauh.  Ini akan jadi masalah, terutama bukan raksasa teknologi, terutama perusahaan teknologi lokal. Jadi bebannya akan sampai ke perusahaan teknologi lokal, misalnya di Papua,” ujarnya.

Terpisah, Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM (PSDHAM) ELSAM, Wahyudi Djafar,berpadangan revisi terhadap UU ITE tambal sulam. Bahkan tidak menjawab persoalan pokok dalam sejumlah materi yang telah disepakati. Khususnya, munculnya rumusan baru yakni right to be forgotten tanpa dilengkapi dengan syarat dan prosedur yang memadai.

Menurutnya, ketentuan baru dalam Pasal 26 terkait penghapusan informasi dinilai tidak relevan. Ironisnya, perumusan aturan tersebut jauh dari prinsip-prinsip right to be forgotten. Selain mesti melalui penetapan pengadilan, kebijakan penghapusan data pribadi pun mesti diselaraskan dengan persyaratan minimum penghapusan data.

Yakni, individu mesti dibertahukan terlebih dahulu mengenai tindakan penghapusan data yang dilakukan dan diberikan kesempatan dalam mengajukan keberatan terhadap keputusan penghapusan data. (Baca Juga: Bukti Elektronik dan Prosedur Perolehan Perlu Diatur dalam Sistem Peradilan)

Menurut Wayhudi, penghapusan dara pribadi mesti dibatasi dengan penentuan jenis-jenis data pribadi yang sah untuk kemudian dilakukan penghapusan. Serta penyedia jasa yang terkait, otoritas publik dan pengadilan pun mesti melakukan pelaporan secara terbuka. “Mengenai keputusan yang berkaitan dengan penghapusan atas informasi pribadi,” ujarnya.

Lebih jauh, Wahyudi berpendapat sejumlah pra syarat pun tidak terlihat dalam rumusan UU ITE hasil revisi. Dengan begitu, munculnya pasal yang mengatur hak penghapusan informasi terkesan aturan tersebut sarat dengan kepentingan politik. Apalagi, pembahasan RUU ITE antara Komisi I DPR dengan Pemerintah dilakukan secara tertutup.

Di negara yang tingkat impunitasnya tinggi seperti Indonesia, pengaturan hak pengapusan informasi hanya dapat dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu. Yakni menghilangkan rekam jejak informasi pribadinya atas dugaan berbagai kasus yang terjadi. Misalnya, pelanggara hak asasi manusia di masa lalu.

“Selain itu, belum adanya pemahaman yang kuat tentang data-data yang masuk kategori data pribadi atau data yang bisa diakses publik, dengan adanya rumusan ini, juga akan menyulitkan publik untuk mengakses rekam jejak kontestan politik yang akan mereka pilih, sebab ada potensi mereka juga akan menghilangkan sebagian rekam jejaknya di masa lalu,”tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkkominfo) Rudi Antara seusai pengesahan RUU ITE menjadi UU pekan lalu mengatakan bakal segera menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Ia pun bakal mensosialisasikan UU ITE teranyar kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat luas.

“Tapi kan sifatnya minor terhadap UU ITE yang ada dan beberapa pasal. Ini sudah bagus, karena masuk right to be forgotten, karena tidak ada sebelumnya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait