3 Aspek Hukum Terkait Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur
Berita

3 Aspek Hukum Terkait Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur

Aspek hukum menjadi faktor siginifikan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

KAR
Bacaan 2 Menit
Acara workshop hukumonline bertajuk Permasalahan dan Solusi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur, Rabu (1/6). Foto: Talks Hukumonline
Acara workshop hukumonline bertajuk Permasalahan dan Solusi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur, Rabu (1/6). Foto: Talks Hukumonline

Salah satu kebijakan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019, melakukan akselerasi peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas. Akselerasi tersebut, antara lain mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional seperti sektor infrastruktur. Kenyataannya, pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur menjadi salah satu masalah krusial yang sangat menentukan realisasi proyek.

Menurut Aslan Noor, Kasubdit Pemanfaatan Tanah Pemerintah, Ditjen Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dalam pengadaan tanah untuk infrastruktur, aspek hukum menjadi faktor kesuksesan yang signifikan. Berdasarkan pemaparannya dalam workshop hukumonline bertajuk "Permasalahan dan Solusi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur", setidaknya ada tiga aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah untuk infrastruktur.

1. Prinsip Keseimbangan
Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ditegaskan bahwa tanah wajib tersedia bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2012 mengatur bahwa pemerintah menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum. Tak hanya itu, pendanaannya pun dijamin oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Nyatanya, acapkali proyek pembangunan mangkrak akibat penolakan masyarakat untuk melepaskan hak atas tanahnya. Ruas tol Kemayoran–Kampung Melayu, Sunter–Rawa Buaya, Batu Ceper, Pasar Minggu–Casablanca maupun pembangunan PLTU Batang menjadi contoh nyata pembangunan infrastruktur yang menghadapi kendala dalam pengadaan lahan.

“UU No. 12 Tahun 2012 menganut prinsip keseimbangan. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Tetapi mungkin, kurang tersosialisasikan bahwa masyarakat juga memiliki kewajiban untuk melepaskan haknya,” ujar Aslan di Jakarta, Rabu (1/6).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2012 mengamanatkan kepada pihak yang memiliki hak atas tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Hanya saja, ia menjelaskan bahwa pelepasan hak itu tidak serta merta. Setidaknya harus ada pemberian ganti kerugian atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Keterlibatan Masyarakat
Ada empat tahapan yang harus dilalui dalam proses pembebasan lahan untuk infrastruktur. Pertama, pihak perencana proyek harus secara rinci memberikan data lokasi yang akan digunakan kepada Pemerintah Provinsi. Kedua, melakukan konsultasi publik. Ketiga, penetapan lokasi. Keempat, Kementerian ATR/BPN melakukan pengadaan tanah yang dilakukan dengan melakukan penilaian, musyawarah hingga pelepasan.

Dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pengadaan tanah dari tahap perencanaan sampai dengan tahap penyerahan hasil, keterlibatan masyarakat menjadi unsur yang penting. Dalam tahap persiapan pengadaan tanah, hasil konsultasi publik menentukan apakah lokasi yang direncanakan bisa dieksekusi atau instansi harus menentukan lokasi lain.

“Kalau ada keberatan dari konsultasi publik yang dilakukan, harus ada konsultasi publik ulang. Kalau kemudian ada gugatan, jika dikabulkan pengadilan maka pengadaan tanah tidak bisa dilakukan di lokasi itu,” tambahnya.

3. Pemberian Ganti Rugi
Pasal 9 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012 menjamin bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil. Menurut Aslan, ganti kerugian adalah pemberian konpensasi yang sepadan, bahkan lebih maju agar bekas pemilik bisa memiliki kehidupan yang lebih baik. Sehingga, menurutnya wajar jika konpensasi yang diterima oleh bekas pemilik tidak hanya sebatas harga pasar tanah yang dimilikinya.

“Dibalik kewenangan pemerintah untuk mebebaskan areal bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum terkandung kewajiban untuk membuat kehidupan yang lebih baik bagi bekas pemegang haknya seperti diatur Pasal 1 angka 1 Pepres No. 36 Tahun 2005 jo. Pasal 1 angka 3 Pepres No. 65 Tahun 2006,” tandasnya.

Namun, sering kali dalam proses negosiasi antara panitia pengadaan lahan dengan masyarakat tak tercapai kesepakatan. Ia mengatakan, untuk mengantisipasi masalah yang bisa menghambat pelaksanaan pembangunan dapat ditempuh upaya konsinyasi. Konsinyasi atau ganti kerugian dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan negeri setempat, diatur di dalam Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012.

“Konsinyasi berlaku bagi warga yang menolak ganti kerugian sesuai hasil musyawarah. Konsinyasi tidak berarti merampas hak atas tanah. Jadi, membutuhkan pendekatan lebih lanjut dari panitia agar tidak menjadi kendala,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait