3 Catatan DPN Apindo Soal Rencana Upah Minimum 2023
Terbaru

3 Catatan DPN Apindo Soal Rencana Upah Minimum 2023

Proses penetapan upah minimum dengan menggunakan formula PP No.36 Tahun 2021 terbukti telah berlangsung secara kondusif.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ketua Umum Apindo saat konferensi pers beberapa waktu lalu. Foto: ADY
Ketua Umum Apindo saat konferensi pers beberapa waktu lalu. Foto: ADY

Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan telah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Beleid yang diundangkan 17 November 2022 itu mengatur formula baru untuk penetapan upah minimum tahun 2023 pada daerah yang sebelumnya telah memiliki upah minimum. Formula itu menggunakan beberapa variabel seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Selain itu kenaikan upah minimum tidak boleh lebih dari 10 persen.

“Penyesuaian nilai upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tahun 2023 dihitung menggunakan formula penghitungan upah minimum dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu,” begitu kutipan Pasal 6 ayat (2) Permenaker.

Ketua DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, secara umum menyebut penetapan upah minimum sebagaimana diatur PP No.36 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinilai sudah tepat. Soal formula baru yang digunakan untuk menetapkan upah minimum 2023 Hariyadi mengingatkan kepada pemerintah sedikitnya 3 hal.

Pertama, lahirnya UU No.11 Tahun 2020 dilatarbelakangi oleh fakta antara lain berdasarkan data BPS Agustus 2019 tercatat sejumlah 28,41 juta orang pekerja paruh waktu, 8,14 juta setengah pengangguran, 7,05 juta orang pengangguran terbuka, dan 2,24 juta orang angkatan kerja baru. Selain itu, Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi di tahun 2030 dengan jumlah angkatan kerja produktif akan mencapai 64% yang tentunya memerlukan lapangan pekerjaan.

“Pemerintah dan DPR RI menganggap perlu adanya suatu terobosan yang kemudian diwujudkan melalui sistem Omnibus Law yang intinya adalah menyederhanakan regulasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru,” ujar Hariyadi dalam keterangannya Jum’at (18/11/2022) kemarin.

Kedua, Hariyadi menjelaskan salah satu isu ketenagakerjaan yang selalu menjadi persoalan pelik setiap tahun adalah penetapan upah minimum. Penetapan upah minimum dengan menggunakan UU No.13 tahun 2003 harus didahului oleh survei tripartit (Pemerintah, Pengusaha dan Serikat Pekerja/Buruh). Tapi, tidak ada standar sumber data yang digunakan.

Hariyadi melihat hal itu menyebabkan penetapan upah minimum hanya menjadi bahan negosiasi yang seringkali hasil akhirnya tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Penetapan upah minimum berdasarkan UU No.13 tahun 2003 selama ini telah menimbulkan disparitas upah minimum antar kabupaten/ kota walaupun di wilayah provinsi yang sama. Persoalan itu telah dibenahi melalui UU No.11 Tahun 2020 jo PP 36 tahun 2021 yang mengatur penggunaan data bersumber dari instansi yang berwenang.

Proses penetapan upah minimum tahun 2022 dengan menggunakan formula PP No.36 Tahun 2022 menurut Hariyadi telah berlangsung kondusif. Penetapan upah minimum tahun 2022 juga memperhatikan disparitas upah antar daerah, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan.

Ketiga, Hariyadi menjelaskan proyeksi ekonomi dunia tahun 2023 mengalami resesi, sehingga akan mempengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri, khususnya yang berorientasi ekspor. Dampaknya mulai dirasakan sektor padat karya seperti industri alas kaki, garmen dan produk tekstil lainnya. Perkembangan terakhir menunjukan penurunan permintaan secara berturut-turut sebesar 50 persen dan 30 persen, sehingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) berpotensi terjadi.

Dalam rangka meningkatkan investasi untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan mempercepat pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19, Hariyadi berharap pelaksanaan UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya terutama terkait bidang ketenagakerjaan agar tetap diberlakukan. Selaras itu pengawasan yang intensif perlu dilakukan aparat pemerintah untuk menjamin kepastian hukum.

Tags:

Berita Terkait