3 Penyebab Suburnya Aksi Terorisme di Indonesia
Berita

3 Penyebab Suburnya Aksi Terorisme di Indonesia

Mulai dari faktor domestik hingga kultural.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan kasus teroro bom di Sarinah, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES
Ilustrasi penanganan kasus teroro bom di Sarinah, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES
Aksi tindak pidana terorisme kerap terjadi dari tahun ke tahun. Berulangnya aksi terorisme melalui kelompok jaringan pelaku menjadi bagian eksistensi masing-masing kelompok. Letak geografis dan pegunungan wilayah Indonesia yang subur justru dijadikan lahan pelatihan militer oleh kelompok terorisme. Untuk itu, pemerintah mesti mencari akar permasalahan yang menyebabkan tumbuh suburnya jaringan terorisme di Indonesia.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan bahwa pemberantasan tindak pidana terorisme tidak melulu melalui jalur hukum, namun mesti mencari akar permasalahan secara menyeluruh. Sebab, bila dibiarkan berlarut bakal menimbulkan kegaduhan dan teror terhadap masyarakat luas.

Setidaknya, Fadli mencatat terdapat tiga hal yang menyebabkan suburnya jaringan terorisme di Indonesia. Pertama, faktor domestik. Misalnya, kemiskinan yang terus membayangi masyarakat menjadi bagian pemicu terjadinya gerakan aksi terorisme. Begitu pula dengan pendidikan yang rendah. Alhasil, mereka yang dapat dibujuk menjadi pelaku bom bunuh diri relatif memiliki pendidikan dan pengetahuan agama yang minim. Tak kalah penting, perlakuan hukum yang tidak adil dari rezim pemerintahan yang berkuasa.

Kedua, faktor internasional. Menurut Fadli, jaringan terorisme tak lepas dari keterlibatan pihak luar. Jaringan terorisme internasional memang cukup kuat dalam memberikan dukungan logistik. Misalnya, pasokan persenjataan. Tak hanya itu, jaringan internasional pun memberikan dana. Bahkan, ada ikatan emosional yang kuat antara jaringan lokal dengan internasional.

Ketiga, faktor kultural. Menurut Fadli, masih banyak ditemukan orang memiliki pemahaman yang sempit dalam menterjemahkan nilai-nilai agama yang berkembang di tengah masyarakat. Akibatnya, pelaku dapat dipengaruhi mengikuti pemberi pengaruh untuk melakukan teror kepada masyarakat.

“Atas latar belakang tersebut, terorisme tidak cukup diselesaikan dengan upaya penindakan saja, namun juga pencegahan,” ujarnya di Gedung DPR, Rabu (20/7).

Politisi Partai Gerindra itu berpendapat, pemberantasan tindak pidana terorisme tak melulu melalui pendekatan criminal justice system. Pemerintah juga mesti melakukan pendekatan ekonomi, sosial, dan budaya. Rangkaian itu dilakukan dalam rangka mencegah agar tidak berulang aksi peledakan bom bunuh diri maupun teror bom terhadap masyarakat.

Anggota Komisi III Aboe Bakar Alhabsy berpandangan, pendekatan criminal justice system mesti terus diperkuat. Makanya Polri di bawah tampuk kepemimpinan Jenderal Muhammad Tito Karnavian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di bawah kepemimpinan Komjen Suhardi Alius mesti bekerjasama dengan sejumlah Pemda yang daerahnya ditengarai sebagai tempat persembunyian para teroris. Langkah itu dilakukan sebagai upaya recovery.

Terkait dengan tewasnya Santoso alias Abu Wardah di tembus timah panas Tim Satuan Tugas (Satgas) Operasi Tinombala di pegunungan Tambarana Sulawesi Tengah mendapat penilaian positif. Menurutnya, wilayah tempat tewasnya Santoso mesti direcovery agar dampak keberadaan kelompok Santoso idak lagi berbekas di masyarakat. Langkah yang dapat ditempuh dengan menggelar kegiatan bimbingan kewirausahaan maupun kegiatan lain yang berkaitan dengan kesejahteraan. “Sebagai upaya deradikalisasi,” pungkas politisi PKS itu.

Tags:

Berita Terkait