3 Peristiwa Menarik dalam Episode Sidang Sengketa Pilpres di MK
Berita

3 Peristiwa Menarik dalam Episode Sidang Sengketa Pilpres di MK

Perdebatan yang disajikan tidak hanya sampai menyentuh aspek-aspek teknis tapi juga sangat filosofis.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Tidak hanya di situ, asas-asas berbahasa asing sebenarnya sudah digunakan oleh Eddy sejak awal menyampaikan keterangannya sebagai ahli dalam sidang di MK tersebut. Pada poin kedua keterangan yang disampaikan, Eddy telah menggunakan asas primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis yang berarti perkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum.

 

Penulis buku Sengketa Madzhab Hukum, Muji Kartika Rahayu memiliki analisis sendiri terkait perbedaan pandangan maupun aliran sebagaimana yang tersajikan di panggung MK. Menurut perempuan yang kerap disapa Kanti ini, sepanjang pengamatannya terhadap para pihak yang kerap bersengketa di MK, tidak ada yang benar-benar merupakan penganut aliran hukum tertentu. 

 

Hal ini disebabkan oleh nalar instrumental yang digunakan oleh para pihak sehingga dalam proses sengekta hasil Pemilu atau pun pengujian Undang-Undang terhadap UUD pun dalil yang dibangun akan berhubungan erat dengan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak. Artinya, penggunaan paradigma, pendekatan, ataupun teori yang menjadi dasar para pihak dalam mengkonstruksi permohonan atau jawaban akan berlandaskan tujuan.

 

“Jika memenangkan sidang hakimnya harus formalis maka saya akan menggunakan pendekatan demikian,” ujar Kanti mengilustrasikan penggunaan pendekatan dalam menafsir UU.

 

Tidak ada yang salah dari hal ini. Sejak jauh hari, para ilmuan hukum sendiri telah banyak bergelut di ranah perbedaan aliran penafsiran seperti ini. Kanti melihat, baik pendekatan formalis maupun realis yang digunakan oleh para pihak di sidang MK keduanya sama-sama merupakan alat untuk mewujudkan tujuan dari para pihak tersebut.

 

Di sisi yang berbeda, ada aliran yang secara konsisten memandang hukum sebagai alat untuk menegakkan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, ia memandang bahwa kelompok pemikiran yang selama ini muncul dalam proses dan upaya menafsirkan UU di MK hanya sebatas penamaan terhadap fakta-fakta tentang dasar teori yang digunakan di persidangan MK (naming of reality).

Tags:

Berita Terkait