4 Catatan ICW terhadap Pasal Korupsi dalam KUHP Baru
Terbaru

4 Catatan ICW terhadap Pasal Korupsi dalam KUHP Baru

Seperti hilangnya sifat kekhususan tipikor, hingga berpotensi menghambat proses penyidikan perkara korupsi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly saat persetujuan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: RES
Menkumham Yasonna H Laoly saat persetujuan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: RES

Protes dari banyak kalangan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terus berlangsung. Malahan terdapat berbagai aksi unjuk rasa menolak sejumah pasal dalam KUHP, khususnya soal kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun, ada pula pengaturan tindak pidana khususnya yang masih menuai kritik, salah satunya tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP.

Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berpandangan harapan publik koruptor dapat dihukum dengan sanksi berat terganjal dengan KUHP baru. Sebab, arah politik hukum negara dalam pemberantasan korupsi semakin mundur. Soalnya, sebagian besar rumusan pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditarik masuk pengaturannya dalam KUHP potensial mengikis kerja-kerja pemberantasan korupsi.

Dalam peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia Tahun 2022 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan pandangannya, pangkal dari tantangan pembangunan di Indonesia adalah korupsi. Tapi realitanya sebaliknya, pembentuk UU menjawabnya dengan menyetujui dan mengesahkan Rancangan KUHP usulan pemerintah yang mengakomodir penurunan hukuman bagi koruptor.

“Secara substansi, setidaknya ada 4 catatan kritis terkait dimasukkannya pasal tipikor dalam KUHP baru,” ujarnya melalui keterangannya kepada Hukumonline, Jum’at (16/12/2022).

Baca Juga:

Kurnia menerangkan keempat catatan tersebut. Pertama, hilangnya sifat kekhususan tipikor. Dengan menarik delik korupsi masuk dalam KUHP malah menghilangkan kekhususan tipikor menjadi tindak pidana umum. Alhasil, korupsi tak lagi menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Padahal, kejahatan korupsi acapkali menggunakan modus operasi yang rumit, berkembang, dan dampaknya amat merugikan masyarakat luas.

Dia berpandangan rumusan norma yang mengatur tipikor masih bersifat kontemporer, dinamis, dan dapat menyesuaikan perkembangan kejahatan tersebut di masyarakat. Apalagi Indonesia sebagai negara peserta Konvensi PBB menentang korupsi masih belum mengkriminalisasi sejumlah delik rekomendasi di dalamnya. Dengan begitu, semestinya pembentuk UU memprioritaskan merevisi UU Pemberantasan Tipikor ketimbang menarik delik korupsi masuk ke KUHP malah menjadi masalah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait