5 Catatan JRKN Untuk Reformasi Polri dan Kebijakan Narkotika
Terbaru

5 Catatan JRKN Untuk Reformasi Polri dan Kebijakan Narkotika

Persidangan Teddy Minahasa dan pihak terkait lainnya mengkonfirmasi pernyataan Freddy Budiman pada 2016 silam yang menyebut ada keterlibatan oknum aparat dalam peredaran narkotika.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Tedy Minahasa saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Foto: RES
Tedy Minahasa saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Foto: RES

Proses persidangan terhadap mantan Kapolda Sumatera Barat, Irjen Pol Teddy Minahasa (TM), dalam perkara peredaran narkotika masih berlangsung. Persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat itu menjerat TM dengan Pasal 114 ayat (2) subsider Pasal 112 ayat 2 juncto Pasal 55 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus narkotika banyak ditemui dalam berbagai kasus.

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) dan Reformasi Kepolisian (RFP) menilai kasus TM sebagai konfirmasi atas pernyataan terpidana mati kasus narkotika, Freddy Budiman, pada 2016 silam. Freddy kala itu sempat membeberkan cara kerjanya dalam bisnis narkotika yang melibatkan oknum aparat penegak hukum dan lainnya.

Anggota JRKN dan RFP Ma’ruf Bajammal, mengatakan banyak fakta yang terungkap dalam persidangan TM sehingga membuat publik mempertanyakan pelaksanaan kewenangan dan akuntabilitas Polri dalam implementasi kebijakan narkotika. Ma’ruf mengatakan, persidangan TM membuka praktik buruk implementasi kebijakan narkotika yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum, khususnya pada saat ditangani oleh kepolisian.

“Profil TM yang pernah memegang beberapa jabatan strategis di institusi Polri menjadi cermin buruk bahwa APH dalam posisi tinggi pun bisa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, dan justru tak menjalankan jargon kebijakan narkotika yang selama ini selalu dipromosikan,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (29/03/2023) kemarin.

Baca juga:

Sebelumnya, terpidana mati kasus narkotika, Freddy Budiman, menurut Ma’ruf yang notabene Advokat Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat itu pernah mengungkapkan keterlibatan oknum aparat seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Bea Cukai dalam bisnis haram yang dilakukannya. Pernyataan itu seolah terkonfirmasi dalam persidangan kasus TM dan kasus terkait lainnya. Koalisi sedikitnya memiliki 5 catatan terkait pentingnya reformasi kebijakan narkotika dan reformasi polisi.

Pertama, praktik penjebakan. Ma’ruf mencatat persidangan TM, Rabu (01/03/2023) lalu TM menyatakan ingin menjebak L dengan sabu-sabu. Niat menjebak L tersebut muncul lantaran L sempat memberikan informasi yang salah kepada TM pada tahun 2019. Fakta tersebut menunjukkan perkara narkotika rentan direkayasa. Penjebakan berbeda dengan undercover buy dan controlled delivery, penjebakan sama sekali tidak boleh ada dalam penanganan tindak pidana.

Kedua, aparat koruptif jadi “pengaman” peredaran gelap. Sidang perkara TM, Rabu (15/03/2023) silam  L menerangkan TM meminta bayaran sejumlah Rp100 miliar untuk mengawal dan meloloskan sabu sebanyak 1 ton sabu dari Taiwan. Apa yang disampaikan L itu menegaskan informasi dari Freddy Budiman yang menyebutkan bahwa terdapat oknum aparat yang memberikan perlindungan kepadanya saat mengedarkan narkotika di Indonesia.

Pernyataan serupa antara keterangan L dan Freddy Budiman menurut Ma’ruf mengkonfirmasi praktik buruk penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum yang memberikan perlindungan terhadap pengedar narkotika. War on drug atau perang terhadap narkotika yang diusung pemerintah malah menyuburkan aparat yang koruptif. Padahal jika pemerintah mengendalikan ketat regulasi pasar narkotika, peredaran narkotika secara ilegal bisa ditekan.

Ketiga, penyelewengan barang bukti narkotika. Sidang yang digelar Kamis (16/03/2023) lalu TM menerangkan anggota polisi sudah biasa menyisihkan barang bukti narkotika untuk di hisap-hisap sendiri dan lain sebagainya. Selain itu, TM sendiri diduga memerintahkan anak buahnya, Kapolres Bukit Tinggi, D, untuk mengganti barang bukti sabu-sabu menjadi tawas.

Barang bukti yang disisihkan dari hasil pengungkapan kasus tersebut kemudian diduga akan dijual kembali oleh komplotan TM, sehingga TM dan komplotannya bisa mendapatkan keuntungan dari jual-beli tersebut. Dari fakta persidangan itu Ma’ruf melihat tata kelola kebijakan narkotika yang buruk berkelindan dengan peluang penyalahgunaan kewenangan yang tinggi.

Keempat, mal administrasi penanganan perkara narkotika. Ma’ruf berpendapat keinginan TM menjebak L menggunakan bawahannya, D karena L telah memberikan informasi yang salah kepada TM sehingga TM mengalami kerugian puluhan miliar rupiah. Penjebakan tersebut disinyalir akan dilakukan dengan metode undercover buying atau pembelian terselubung.

Ma’ruf menegaskan pasal 79 UU Narkotika telah mengatur bahwa teknik undercover buying harus disertai dengan surat izin pimpinan. Upaya TM menjebak L karena motif pribadi, jika dilakukan dengan metode pembelian terselubung maka tidak sesuai ketentuan pasal tersebut. Prosedur ini kerap diabaikan, tak dipahami aparat sekelas Kapolda.

Kelima, pimpinan polisi justru menghalangi pemeriksaan perkara (obstruction of justice). Dalam persidangan Rabu (01/03/2023), D menceritakan bahwa ia mendapatkan surat kecil dari TM.  Di hadapan Majelis Hakim, TM mengakui bahwa surat kecil tersebut merupakan tulisan tangannya sendiri. Isi surat tersebut memerintahkan agar D mencabut keterangan yang memberatkan TM, dan meminta kepada D untuk bergabung menjadi satu tim, serta ‘buang badan’ kepada orang lain.

Berbagai fakta itu menurut Ma’ruf menegaskan kasus TM merupakan cerminan bagaimana rekayasa kasus narkotika bisa dengan mudah dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan menggunakan kewenangan yang dimilikinya. Laporan LBH Masyarakat tahun 2012 menyebut 83 responden mengaku sebagai korban rekayasa kasus. Maraknya rekayasa kasus ini juga seperti difasilitasi oleh UU Narkotika. Sangat mudah bagi polisi untuk melakukan rekayasa kasus, melakukan penjebakan karena adanya pasal penguasaan narkotika yang oleh MA bahkan telah disebut ‘pasal keranjang sampah’.

Kebijakan narkotika selama ini dengan jargon war on drugs menurut Ma’ruf menyuburkan peredaran gelap narkotika yang dilakukan aparat. Dalam pasar narkotika yang tidak ada regulasinya, maka pengendali pasar narkotika adalah pelaku kriminal dan aparat koruptif. Pengguna narkotika hanya menjadi korban, termasuk korban korupsi penanganan kasus.

Koalisi mendesak pemerintah melakukan sedikitnya 4 hal. Pertama, Polri harus melakukan tindak lanjut soal narasi ‘polisi biasa melakukan ini’ sebagaimana disebut TM di persidangan dan harus ada komitmen penegakan. Kedua, Komnas HAM, Kompolnas, Ombudsman dan Komisi III DPR RI melakukan investigasi dan pengawasan mandiri terhadap kasus ini untuk menekan Polri evaluasi pelaksanaan kebijakan narkotikanya, yang koruptif dan penuh kekerasan.

Ketiga, Pemerintah dan DPR harus segera menata ulang kebijakan narkotika. Pasar gelap hanya dikendalikan aparat koruptif. Kebijakan narkotika perlu menggunakan pendekatan dekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika untuk kepentingan pribadi. Pengguna harus menjadi domain kesehatan bukan aparat, pasar tergulasi narkotika harus dicetuskan. Dekriminalisasi bukan legalisasi tanpa kontrol. Tapi negara mengatur dan mengambil alih. Keempat, pemerintah dan DPR segala melakukan revisi hukum acara yang memuat safeguards mechanism pengaturan penanganan perkara narkotika dalam hukum acara pidana, termasuk soal kewenangan teknik investigasi khusus perkara narkotika.

Tags:

Berita Terkait