Semangat Revisi UU Narkotika untuk Rehabilitasi Pengguna
Terbaru

Semangat Revisi UU Narkotika untuk Rehabilitasi Pengguna

Praktiknya selama ini korban pecandu narkotika masih banyak yang tidak direhabilitasi, tapi malah dijerat pidana.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Upaya untuk merevisi UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika terus bergulir. Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menjelaskan beleid itu harus segera diperbarui mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, penanganan penyalahgunaan narkotika di Indonesia belum bisa dicegah, apalagi dihentikan.

Hinca mencatat penegakan hukum yang dilakukan selama ini gagal dalam mencegah penyebaran dan menangani kasus-kasus penyalahgunaan narkotika.   "Mengapa kita revisi? Karena faktanya RUU itu nggak mampu untuk mencegah, menyetop penyalahgunaan narkotika. Bahkan sebaliknya, memperbesar kegagalan yang kita lakukan. Kenapa gagal? Karena memang cara menangani kasus ini menurut saya terjadi kesalahan fatal oleh aparat penegak hukum sejak awal," katanya sebagaimana dilansir laman dpr.go.id, Sabtu (5/11/2022).

Politisi Partai Demokrat itu menjelaskan konsep UU Narkotika menekankan pada pendekatan kesehatan. Dimana rehabilitasi diberikan kepada korban pengguna narkotika dan pengedar serta bandarnya dihukum. Tapi pada praktiknya selama ini pecandu narkotika masih banyak yang tidak direhabilitasi, namun dihukum pidana. Persoalan itu menyebabkan over capacity lembaga pemasyarakatan yang ada.

"Bandar dan Pengedar itu tentu harus betul-betul dipidana. Karena dia kaya-raya mengumpulkan uang dengan cara ilegal dan mengorbankan anak manusia di manapun mereka berada termasuk di Indonesia. Sementara korbannya ialah pengguna. Korban itu pasti orang sakit. Orang sakit itu diobati, bukan dipenjara. Nah di kita, rata-rata pengguna itu dipenjara. Akhirnya penuh lah itu lapas kita," ujar Hinca.

Hinca mendorong revisi RUU Narkotika memiliki semangat untuk merehabilitasi korban pengguna narkotika. "Di UU kita kan konsepnya kalau sudah dua kali (terkena penyalahgunaan narkoba), dia langsung dipidana gitu. Ini juga yang salah. Harusnya kita obati. Kalau kita sakit diobati sembuh, sakit lagi ya diobati lagi. Jadi karena pengguna itu adalah orang sakit harus diobati sampai sembuh, tidak boleh dipenjara," tegasnya.

Pemenjaraan korban pengguna narkotika menurut Hinca memboroskan anggaran negara. Misalnya, satu korban penggunaan narkoba karena membeli paket hemat sebesar Rp150 ribu dikenakan hukuman pidana. Namun, pihak berwenang akan mengeluarkan anggaran yang tidak sebanding dengan narkoba yang dikonsumsi oleh penyalahguna narkoba tersebut. Hal tersebut menurutnya merupakan pemborosan anggaran negara.

"Kalau kita hitung budget-nya. Dengan seseorang menggunakan narkoba yang paket hemat seharga Rp150 ribu, polisi akan mengeluarkan anggaran paling tidak Rp10 juta, Jaksa Rp10 juta, Hakim Rp10 juta, lalu diproses persidangannya ya, kalau dikumpulin Rp30 juta. Lalu diputuskan hukumannya, banyak yang divonis lima-tujuh tahun. Kalau satu hari biaya makannya Rp30 ribu di Lapas, kalikan satu bulan berapa, kalikan satu tahun berapa, kalikan lima tahun berapa. Maka itu menjadi puluhan bahkan ratusan juta, tergantung berapa tahun (vonisnya) tadi," urai Hinca.

Oleh karena itu, Hinca mendorong korban penggunaan narkotika jangan dipidana tapi direhabilitasi. Sehingga tidak menyebabkan lapas dan rutan semakin penuh yang ujungnya membebani anggaran negara. Anggaran itu lebih baik digunakan untuk melakukan rehabilitasi korban penggunaan narkotika.

Selain itu Hinca mendorong Presiden Joko Widodo mengampuni korban pengguna narkotika yang sudah terlanjur dipidana. Bahkan mengobati para pecandu narkotika sampai sembuh.

Sebagai informasi, revisi UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika masih dalam pembahasan Komisi III DPR RI. Komisi III saat ini menerima dan mengumpulkan berbagai masukan dari berbagai pihak sebagai bahan pembahasan RUU tersebut.

Tags:

Berita Terkait