5 Masalah Hukum dalam Putusan-Putusan Sengketa Wakaf
Lipsus Lebaran 2020

5 Masalah Hukum dalam Putusan-Putusan Sengketa Wakaf

Putusan pengadilan mengakomodasi keinginan untuk mengelola harta wakaf lebih produktif.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Pengadilan Tinggi Agama dapat mengambil alih pertimbangan Pengadilan Agama. Lagipula, menurut majelis hakim kasasi status tanah sebagai tanah wakaf dapat dibuktikan. “Bahwa alasan Pengadilan Tinggi Agama telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian juga tidak dapat dibenarkan karena berdasarkan bukti P.2 (wasiat) dan bukti P.13 (sertifikat wakaf) para Penggugat dapat membuktikan bahwa objek sengketa adalah tanah wakaf untuk dipergunakan sebagai tanah pekuburan ahli waris,” demikian antara lain pertimbangan Mahkamah Agung.

Dalam putusan lain, No. 456K/AG/2007, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi para penggugat. Pengadilan Tinggi Agama Mataram tidak salah menerapkan hukum, dan tidak bertentangan dengan hukum. Pengadilan Tinggi Agama Mataram membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama, lalu memutuskan menolak gugatan seluruhnya. Petitum para penggugat antara lain adalah meminta Pengadilan Agama membatalkan tindakan mewakafkan tanah sengketa, meminta batal ikrar wakaf, dan batal penunjukan nazhir. Para penggugat mengklaim sebagian lahan yang diwakafkan untuk pekuburan adalah milik para penggugat. Gugatan mereka dikabulkan Pengadilan Agama, namun dibatalkan di Pengadilan Tinggi Agama. Upaya kasasi para penggugat ditolak Mahkamah Agung. (Baca: Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia, dari Era Priesterraad hingga Era Jokowi)

Masalah pengosongan tanah yang telah diwakafkan oleh pihak ketiga (Tergugat) juga dapat dibaca dalam putusan Mahkamah Agung No. 03PK/AG/2008. Upaya PK oleh para tergugat tidak dapat diterima. Sebelumnya, majelis kasasi menyatakan tanah yang batas-batasnya disebut dalam gugatan adalah tanah wakaf Penggugat I dan Penggugat II yang akan dipergunakan untuk kepentingan ummat Islam. Majelis kasasi juga tegas menyatakan: “Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk menyerahkan tanah wakaf tersebut di atas dalam keadaan kosong dari apa saja yang ada di atasnya kepada Penggugat untuk diserahkan kembali kepada ummat islam (kaum muslimin) yang berada di sekitar tanah wakaf tersebut sesuai peraturan perwakafan yang berlaku”.

  1. Harta Wakaf Harus Dimiliki Secara Sah

Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Begitulah rumusan jelas dalam Pasal 3 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Berbekal pasal itu, majelis hakim kasasi dalam perkara No. 174K/AG/2017 menyatakan judex facti salah menerapkan hukum. Majelis kasasi menyatakan pengakuan Tergugat II dan Tergugat III tidak dapat dijadikan sebagai dasar bahwa gugatan penggugat terbukti. Sebab, bisa jadi Tergugat II dan Tergugat III memberikan pengakuan karena mereka akan mendapatkan keuntungan dari batalnya ikrar wakaf.

Lagipula gugatan para penggugat masih premature karena belum ada penetapan yang sah tentang siapa saja ahli waris, sehingga belum jelas siapa yang memiliki legal standing. Pewaris memiliki 7 orang anak dari isteri pertama, dan 7 orang anak dari isteri kedua. Keturunan pewaris bersengketa karena lahan seluas 2000 meter per segi diwakafkan ke Yayasan Pendidikan Islam. Tanah yang disengketakan atas nama anak pertama dari isteri pertama. Para penggugat meminta akta ikrar wakaf dan penunjukan nazhir dibatalkan karena status kepemilikan tanah belum jelas. Pasal 5 UU Wakaf, dirujuk penggugat dalam gugatan, menyatakan harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai wakif secara sah.

  1. ‘Wakaf’ yang Bukan Wakaf

Untuk menghindari perampasan oleh Belanda, seorang warga keturunan Arab di Bandung telah mewariskan harta kepada anak-anaknya dalam surat wasiat tahun 1942. Ia menghimpun seluruh harta yang akan diwariskan itu dan dalam dokumentasinya disebut wakaf. Kata ‘wakaf’ itu puluhan tahun kemudian menjadi masalah, ketika ahli warisnya hendak mengajukan surat ke Badan Pertanahan Nasional. BPN menolak dengan alasan tanah dimaksud berstatus wakaf. Akhirnya ahli waris wakif mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama melawan ahli waris lainnya.

Dalam putusan Mahkamah Agung No. 85K/AG/2012, permohonan kasasi tergugat ditolak majelis. Dalam pertimbangannya, majelis kasasi menyatakan para penggugat dapat membuktikan bahwa tanah sengketa bukanlah tanah wakaf dari orang tua mereka, yang telah dikuasai para penggugat selama 50 tahun terakhir. Pajak bumi dan bangunan lahan itu pun dibayar para penggugat.

Jadi, sekalipun ada kata ‘wakaf’ dalam wasiat orang tua para penggugat, tanah itu bukanlah tanah wakaf sebagaimana dimaksud dalam UU No. 41 Tahun 2004. Tidak ada ikrar wakaf, penunjukan nazhir, dan pendaftaran tanah wakaf. Kantor Kementerian Agama setempat juga menguatkan bahwa tanah dimaksud tidak pernah terdaftar sebagai tanah wakaf.

Tags:

Berita Terkait