6 Catatan KPA Terkait Pencabutan Ribuan Izin Pertambangan-Perkebunan
Terbaru

6 Catatan KPA Terkait Pencabutan Ribuan Izin Pertambangan-Perkebunan

Pencabutan ribuan izin tak produktif seharusnya dilakukan sejak awal Presiden Jokowi berkuasa. Pemerintah seharusnya membuka izin mana saja yang dicabut agar masyarakat dapat mengawasi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika. Foto: ADY
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika. Foto: ADY

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencabut ribuan izin usaha sektor tambang, kehutanan, dan hak guna (HGU) perkebunan tak produktif yang dikantongi berbagai perusahaan. Langkah itu dilakukan sebagai upaya membenahi tata kelola sumber daya alam guna mewujudkan pemerataan, transparan, dan adil untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan alam.

Jokowi menjelaskan izin pertambangan, kehutanan, dan penggunaan lahan negara terus dievaluasi menyeluruh. Izin yang tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan bakal dicabut. Ada ribuan izin yang diklaim telah dicabut. Meliputi 2.078 izin pertambangan minerba, karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja, izin yang telah diberikan selama bertahun-tahun tak kunjung digarap, sehingga pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat menjadi terhambat.

Kemudian 192 izin sektor kehutanan seluas 3,1 juta hektar lahan juga dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan ditelantarkan. Terakhir, HGU perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektar mencakup 25.128 hektar milik 12 badan hukum, dan 9.320 hektar bagian dari HGU yang terlantar milik 24 badan hukum.

Presiden Jokowi menekankan pembenahan dan penertiban izin bagian integral dari perbaikan tata kelola pemberian izin pertambangan dan kehutanan serta perizinan lain. “Pemerintah terus melakukan pembenahan dengan memberikan kemudahan-kemudahan izin usaha yang transparan dan akuntabel, tetapi izin-izin yang disalahgunakan pasti akan kami cabut,” kata Presiden Jokowu sebagaimana dikutip laman setkab.go.id, Kamis (6/1/2022) kemarin. (Baca Juga: Pencabutan Ribuan Izin Tambang-Perkebunan Perlu Didukung)  

Konstitusi memandatkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dilkuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jokowi menyebut akan memberikan kesempatan pemerataan pemanfaatan aset bagi kelompok-kelompok masyarakat dan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang produktif, termasuk kelompok petani, pesantren, dan lain-lain, yang bisa bermitra dengan perusahaan yang kredibel dan berpengalaman.

“Indonesia terbuka bagi investor yang kredibel, yang memiliki rekam jejak dan reputasi yang baik, serta memiliki komitmen untuk ikut mensejahterakan rakyat dan menjaga kelestarian alam,” imbuh Jokowi.

Merespon pencabutan izin itu, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengingatkan sedikitnya 6 hal penting. Pertama, pencabutan izin harusnya dilakukan sejak awal periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Berbagai izin itu merupakan penyebab utama konflik agraria. Tahun 2021, KPA menghitung sedikitnya ada 207 letusan konflik agraria, dan 121 kasus terkait perizinan di sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Konflik agraria tahun lalu terjadi di atas 476 juta hektar lahan dengan korban 189 ribu KK.

“Tidak berjalannya pencabutan atau sanksi tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang telah menyalahkan izin-izin konsesi di ketiga sektor tersebut juga menjadi salah satu penyebab mandeg-nya penyelesaian konflik agraria selama ini,” kata Dewi ketika dikonfirmasi, Rabu (12/1/2022).

Kedua, pemerintah harus mempublikasi izin mana saja yang telah dicabut. Transparansi data itu penting agar publik dapat mengawasi dan mengawal apakah izin itu memang tumpang tindih dengan lahan masyarakat atau sebatas tanah kosong dan terlantar. Bagi Dewi ini penting untuk memperjelas apakah kebijakan ini hanya sebatas alasan produktivitas atau untuk distribusi penguasaan tanah dan penyelesaian konflik agrarian?

Ketiga, melihat luasan izin. Dewi berpendapat pencabutan izin ini belum mencerminkan semangat untuk mengatasi ketimpangan agraria di Indonesia. Data BPS tahun 2013 mengungkapkan rasio penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0,68, artinya 1 persen penduduk menguasai 68 persen tanah. Monopoli dan ketimpangan itu karena penguasaan tanah oleh korporasi skala besar.

Melansir data Bappenas 2019 pada sektor perkebunan sawit ada 25 grup perusahaan mendominasi penguasaan 16,3 juta hektar tanah. Konsesi seluas 30,7 juta hektar dikuasai 500 perusahaan dan sektor tambang 37 juta hektar. Konsentrasi penguasaan tanah itu berkorelasi dengan konflik agraria. “Potensi tanah terlantar di Indonesia mencapai 7 juta hektar. Jadi, dari sisi penertiban tanah terlantar pun sangat kecil apalagi dibandingkan eksisting HGU yang dikuasai perusahaan,” ungkapnya.

Keempat, Dewi mengatakan pencabutan izin ini harus diwaspadai jangan sampai hanya langkah akrobatik pemerintah mengatasnamakan kepentingan rakyat. Dimana orientasi kebijakan penertiban tanah terlantar sebenarnya tidak lebih dari pengamanan investasi dan proyek strategis nasional untuk pemulihan ekonomi. Bukan penyelesaian konflik dan perombakan ketimpangan agrarian yang terjadi selama ini.

Dewi mengingatkan saat menghadiri Kongres Ekonomi Umat II MUI Desember tahun lalu, Presiden Jokowi menegaskan akan menertibkan tanah terlantar yang akan diberikan kepada kelompok dan perusahaan dengan syarat mempunyai kelayakan studi (feasibility studies). Pernyataan ini memberi sinyal penertiban diperuntukan untuk pemilik modal karena petani dan masyarakat miskin tidak mengetahui aspek studi kelayakan. Apalagi pencabutan itu akan masuk dalam skema Badan Bank Tanah yang tujuannya untuk pengadaan tanah bagi kepentingan investasi dan proyek strategis nasional (PSN).

Kelima, pencabutan izin tambang, perkebunan dan kehutanan harus selaras penghentian proses pemberian dan perpanjangan izin untuk pengusaha dan perusahaan besar. Hal tersebut merupakan pangkal persoalan konflik agraria struktural dan ketimpangan.

Keenam, pencabutan izin-izin tambang, perkebunan dan kehutanan seharusnya selaras dengan agenda penyelesaian konflik dan perombakan ketimpangan penguasaan tanah dalam kerangka reforma agraria. Artinya, izin-izin yang disasar bukan hanya tanah-tanah tidak produktif dan terlantar. Tapi menyasar konsesi tambang, perkebunan dan hutan milik BUMN serta perusahaan swasta yang selama ini berkonflik atau tumpang tindih dengan tanah garapan, pemukiman, dan kampung-kampung milik masyarakat.

Sejak 2016, KPA bersama anggota (organisasi tani, nelayan dan masyarakat adat) sudah mengusulkan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) sebagai usulan prioritas penyelesaian konflik. Lokasi tersebut mencapai 654.854 hektar yang dikuasai oleh 201.299 keluarga, tersebar di 532 desa/kampung, 104 kabupaten dan 20 provinsi. Dari total usulan tersebut, tidak sampai 10 persen yang diselesaikan selama 7 tahun pemerintahan Jokowi.  

“Artinya tidak ada upaya serius dalam penyelesaian konflik dan mengatasi ketimpangan agraria selama ini,” tegas Dewi.

Tags:

Berita Terkait