61 Tahun Berlaku, Amanat UU Pokok Agraria Ini Belum Pernah Dijalankan
Terbaru

61 Tahun Berlaku, Amanat UU Pokok Agraria Ini Belum Pernah Dijalankan

Seharusnya pembatasan penguasaan tanah oleh badan hukum perlu segera diatur dalam PP.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Sementara itu, luas maksimum tanah pertanian sudah dibatasi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Perppu tersebut mengatur orang dalam satu keluarga hanya boleh menguasai tanah pertanian baik milik sendiri atau orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering. Untuk daerah yang sangat khusus luas maksimum itu bisa ditambah paling banyak 5 hektar.

“Melihat ketimpangan penguasaan tanah selama ini dan potensinya semakin berkembang dengan berlakunya UU Cipta Kerja, sudah saatnya pemerintah mengatur pembatasan penguasaan tanah oleh badan hukum. Sebagaimana pernah dirumuskan dalam naskah awal RUU Pertanahan versi 2013,” usul Prof Maria seraya mengingatkan pembentuk UU.  

PP Hak Pengelolaan

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar FH UGM lain, Prof Nurhasan Ismail, menyoroti PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Beleid ini akan menjadi sentral mengatur hak atas tanah karena menghapus peraturan sebelumnya yakni PP No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah dan PP No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesi.  

Dia menilai PP No.18 Tahun 2021 tidak merujuk UU Pokok-Pokok Agraria, tapi hanya UU Cipta Kerja. Padahal, UU Pokok Agraria tidak bisa diabaikan sebagai dasar rujukan karena secara materiil atau substansi PP itu wajib memperhatikan asas-asas hukum pertanahan dalam UU Pokok Agraria. Terlebih, tidak ada satu ketentuan UU Pokok Agraria yang dihapus melalui UU Cipta Kerja.

Dia mengingatkan UU Pokok Agraria memuat asas hukum sebagai hukum yang khusus (lex specialis) dan UU Cipta Kerja berkedudukan sebagai hukum yang umum (lex generalis). Konsekuensinya UU Cipta Kerja tidak boleh mengandung substansi/materi muatan hukum yang bertentangan dengan UUPA. Begitu juga peraturan turunannya, seperti PP No.18 Tahun 2021 itu.

Dia melihat dan menemukan ada 16 pasal dalam PP No.18 Tahun 2021 bersifat inkonsisten baik secara internal dan vertikal. Beberapa pasal yang bersifat inkonsisten internal atau dapat menimbulkan perbedaan tafsir yaitu dasar kewenangan pemegang hak pengelolaan (HPL) untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi kepentingan dirinya sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b PP. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a PP ini.

Pasal 7 ayat (1) huruf b PP No.18 Tahun 2021 mengatur kewenangan memanfaatkan tanah bagi kepentingan pemegang HPL sudah inheren terkandung dalam HPL itu sendiri atau tidak perlu alas kewenangan lain. Tapi, Pasal 8 ayat (1) huruf a PP ini menyebut kewenangan memanfaatkan tanah bagi kepentingan pemegang HPL dapat diberikan HGU, HGB, atau Hak Pakai Dengan Jangka Waktu (HPJW) diatas HPL sesuai sifat dan fungsinnya kepada pemegang HPL.

“Ini ada logika hukum yang tidak benar,” kata Prof Nurhasan Ismail.

Tags:

Berita Terkait