61 Tahun Berlaku, Amanat UU Pokok Agraria Ini Belum Pernah Dijalankan
Terbaru

61 Tahun Berlaku, Amanat UU Pokok Agraria Ini Belum Pernah Dijalankan

Seharusnya pembatasan penguasaan tanah oleh badan hukum perlu segera diatur dalam PP.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria. Foto: MYS
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria. Foto: MYS

Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sudah genap berusia 61 tahun. Beleid yang diteken Presiden Sukarno pada 24 September 1960 itu selama ini menjadi rujukan hukum agraria di Indonesia. Tapi masih ada ketentuan UU Pokok Agraria yang belum dilaksanakan, salah satunya tentang pembatasan penguasaan tanah oleh badan hukum.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Maria SW Sumardjono, mengatakan sejak UU Pokok Agraria diundangkan banyak peraturan yang terbit, tapi tak ada satu aturan yang mengatur pembatasan penguasaan tanah oleh badan hukum. 

“Ketentuan mengenai pembatasan penguasaan tanah bagi badan hukum yang dimandatkan UU Pokok Agraria tidak pernah dijalankan,” kata Prof Maria SW Sumardjono dalam webinar bertajuk “Memperingati 61 Tahun UUPA: Quo Vadis Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja”, Senin (20/9/2021). (Baca Juga: Guru Besar UGM Beberkan Inkonsistensi PP Hak Pengelolaan)

Alih-alih mengatur pembatasan penguasaan tanah bagi badan hukum, kata Prof Maria, pemerintah malah menerbitkan regulasi pengadaan tanah untuk memperluas investasi seperti diatur UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal itu berpotensi membuat ketimpangan di masyarakat semakin luas dan menjauh dari keadilan sosial dalam hal perolehan hak atas tanah.

Prof Maria menjelaskan pembatasan yang dimaksud diamanatkan Pasal 17 UU Pokok Agraria. Intinya, ketentuan itu memerintahkan agar diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dimiliki oleh satu keluarga atau badan hukum. Tanah yang melebihi batas maksimum itu diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian. Untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP).

Pasal 17 UU Pokok-Pokok Agraria

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Sementara itu, luas maksimum tanah pertanian sudah dibatasi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Perppu tersebut mengatur orang dalam satu keluarga hanya boleh menguasai tanah pertanian baik milik sendiri atau orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering. Untuk daerah yang sangat khusus luas maksimum itu bisa ditambah paling banyak 5 hektar.

“Melihat ketimpangan penguasaan tanah selama ini dan potensinya semakin berkembang dengan berlakunya UU Cipta Kerja, sudah saatnya pemerintah mengatur pembatasan penguasaan tanah oleh badan hukum. Sebagaimana pernah dirumuskan dalam naskah awal RUU Pertanahan versi 2013,” usul Prof Maria seraya mengingatkan pembentuk UU.  

PP Hak Pengelolaan

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar FH UGM lain, Prof Nurhasan Ismail, menyoroti PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Beleid ini akan menjadi sentral mengatur hak atas tanah karena menghapus peraturan sebelumnya yakni PP No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah dan PP No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesi.  

Dia menilai PP No.18 Tahun 2021 tidak merujuk UU Pokok-Pokok Agraria, tapi hanya UU Cipta Kerja. Padahal, UU Pokok Agraria tidak bisa diabaikan sebagai dasar rujukan karena secara materiil atau substansi PP itu wajib memperhatikan asas-asas hukum pertanahan dalam UU Pokok Agraria. Terlebih, tidak ada satu ketentuan UU Pokok Agraria yang dihapus melalui UU Cipta Kerja.

Dia mengingatkan UU Pokok Agraria memuat asas hukum sebagai hukum yang khusus (lex specialis) dan UU Cipta Kerja berkedudukan sebagai hukum yang umum (lex generalis). Konsekuensinya UU Cipta Kerja tidak boleh mengandung substansi/materi muatan hukum yang bertentangan dengan UUPA. Begitu juga peraturan turunannya, seperti PP No.18 Tahun 2021 itu.

Dia melihat dan menemukan ada 16 pasal dalam PP No.18 Tahun 2021 bersifat inkonsisten baik secara internal dan vertikal. Beberapa pasal yang bersifat inkonsisten internal atau dapat menimbulkan perbedaan tafsir yaitu dasar kewenangan pemegang hak pengelolaan (HPL) untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi kepentingan dirinya sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b PP. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a PP ini.

Pasal 7 ayat (1) huruf b PP No.18 Tahun 2021 mengatur kewenangan memanfaatkan tanah bagi kepentingan pemegang HPL sudah inheren terkandung dalam HPL itu sendiri atau tidak perlu alas kewenangan lain. Tapi, Pasal 8 ayat (1) huruf a PP ini menyebut kewenangan memanfaatkan tanah bagi kepentingan pemegang HPL dapat diberikan HGU, HGB, atau Hak Pakai Dengan Jangka Waktu (HPJW) diatas HPL sesuai sifat dan fungsinnya kepada pemegang HPL.

“Ini ada logika hukum yang tidak benar,” kata Prof Nurhasan Ismail.

Tags:

Berita Terkait