7 Masalah Utama di Bidang Minerba Sebelum Adanya UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja

7 Masalah Utama di Bidang Minerba Sebelum Adanya UU Cipta Kerja

Lahirnya UU Cipta Kerja dinilai memberikan banyak harapan kepada dunia usaha karena memberikan kepastian hukum.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Sejumlah narasumber dalam Webinar Series ILUNI UI dan Hukumonline: 'Telaah Substansi dan Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Sumber Daya Alam', Rabu (3/2). Foto: RES
Sejumlah narasumber dalam Webinar Series ILUNI UI dan Hukumonline: 'Telaah Substansi dan Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Sumber Daya Alam', Rabu (3/2). Foto: RES

Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law diharapkan dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan perizinan dan birokrasi yang berbelit dan saling tumpang tindih. Dengan penyederahaan perizinan, investasi akan masuk ke Indonesia dan tentunya memberikan dampak terhadap ranking EoDB Indonesia.

Salah satu sektor yang turut diatur dalam UU Cipta Kerja adalah sektor pertambangan seperti Minerba. Pertanyaannya, seberapa efektif UU Cipta Kerja menjawab persoalan yang cukup komplek dan terjadi di sektor minerba, mulai dari sektor perizinan hingga pembebasan lahan.

Managing Partner Adisuryo Dwinanto & Co, Dendi Adisurya, mengatakan bahwa setidaknya terdapat tujuh permasalahan utama di bidang minerba.

  1. Overdosis izin dan tumpang tindih perizinan daerah dan sektoral. Saat ini untuk mengurus perizinnan sektor minerba, jumlah izin yang harus dimiliki oleh perusahaan tambang sebelum memulai kegiatan pertambangan sangat banyak dan kompleks. Ditambah lagi adanya tumpang tindih kewenangan antara daerah dan pusat dan antar department.
  1. Perubahan rezim ke Izin Usaha Pertambangan (IUP). Persoalan muncul saat implementasi kewajiban konversi dari kontrak ke izin, dan negotiated items penyesuaian kontrak menjadi izin meliputi luas wilayah, divestasi, lokal konten, penerimaan negara dan nilai tambah.
  1. Konflik pembebasan. Di mana penyelesaian dilakukan Business to Business, adanya konflik antar jenis konsesi, dan tidak ada pengaturan mengenai pembebasan lahan untuk kepentingan industri pertambangan.
  1. Hilirisasi. Persoalan terkait On and off larangan ekspor ore, realisasi pembangunan smelter di 2021 seperti jumlah izin smelter.
  1. Divestiasi saham bagi investasi asing. Masalah yang muncul seputar disinsentif investasi asing, nilai divestasi saham – dihitung berdasarkan fair market value, dengan metode discounted cash flow dan/atau perbandingan data pasar (Pasal 14 Permen ESDM 07/2017 dan 43/2018), dan kesiapan BUMN/BUMD untuk membeli divested shares.
  1. Adanya stagnansi pertumbuhan cadangan minerba, risiko investasi yang tinggi di tahap eksplorasi, pemerintah tidak memiliki exploration funds yang memadai, dan insentif eksplorasi.
  1. Penerbitan izin usaha baru terutama terkait implementasi lelang (Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).

Lalu bagaimana dengan sektor minerba yang diatur dalam UU Cipta Kerja? UU Cipta Kerja menarik kewenangan daerah ke pusat, adanya kewajiban peningkatan nilai tambah di mana izin sudah tidak di Dirjen Minerba/MESDM – dialihkan Kementerian Perindustrian, kecuali untuk fasilitas pengolahan dan pemurnian yang terintegrasi dengan kegiatan penambangan. (Baca: Segera Rampung, Begini Perkembangan Penyusunan Aturan Turunan UU Cipta Kerja)

Peningkatan nilai tambah juga mengatur royalti 0% atas kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara, dan pengaturan lebih lanjut pada peraturan pemerintah dan peraturan menteri keuangan (belum diterbitkan). Dan berdasarkan RPP UU Cipta Kerja Sektor ESDM, besaran, persyaratan, dan tata cara pengenanan royalti 0% berdasarkan pada persetujuan menteri keuangan.

Kemudian, Omnibus Law mengatur pengalihan izin dan saham, insentif fiskal, dan adanya sanksi pidana. Sementara beberapa hal lainnya seperti pengalihan izin dan saham, jasa pertambangan, jaminan perpanjangan PKP2B/KK menjadi IUPK, pengutamaan BUMN, penugasan BUMN, tumpeng tindih terkait tata ruang diatur dalam UU No.3 Tahun 2020 tentang entang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Yang menjadi tantangan itu implemetansi karena poinnya ditarik pusat, terkait pengawasan dan penyederhanaan izin. Kalau itu ditarik (kewenangan dan penyederahaan izin) dan menjadi satu atap, perizinan dan pengawasan akan lebih simpel. Indonesia bukan negara nomor satu penghasil batubara, tapi dari sisi jumlah izin paling banyak ada sekitar 8000-an izin yang sebagian besar dikeluarkan oleh Pemda, dan ini salah satu tujuan kewenangan ditarik ke pusat maka akan lebih mudah pengawasannya, tantangan lainnya adalah apakah SDM bisa menangani secara keseluruhan,” kata Dendi dalam Webinar Series ILUNI UI dan Hukumonline dengan tajuk “Telaah Substansi dan Implementasi UU Cipta Kerja” (Sektor Ketenagakerjaan, Sumber Daya Alam, dan Kawasan Ekonomi Khusus), Rabu (3/2).

Harapan Dunia Usaha

Dilihat dari pokok-pokok pengaturan sektor minerba tersebut, tak semua persoalan dapat dijawab oleh UU Omnibus Law. Namun, Dendi menegaskan bahwa setidaknya UU Cipta Kerja memberikan banyak harapan kepada dunia usaha karena memberikan kepastian hukum.

Misalnya, dari sisi keberlangsungan usaha, Omnibus Law dinlai cukup bijak untuk menjembatani masalah kontrak terkait PKP2B dimana perpanjangan izin dapat dilakukan dengan memberikan jaminan dengan syarat-syarat dari pemerintah yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Kebijakan ini, menurut Dendi, cukup wise dan win-win solution.

“Ada insentif fiskal berdasarkan tahapan, batubara dihapuskan sebagai tidak kena pajak, batu bara kena PPN, ada yang mengatakan ini buruk, tapi menirit saya ini bagus tidak ada lagi kesimpangsiuran apakah bisa dikreditkan dengan alasan batubara bukan objek pajak,” tambahnya.

Beberapa hal yang mungkin luput dari Omnibus Law, lanjut Dendi adalah terkait persoalan konflik pembebasan lahan, hilirisasi dan divestasi. Namun, dia berharap permasalahan yang tidak diatur dalam UU Omnibus Law dapat diatur lebih lanjut dalam PP.

“Tidak semua permasalahan utama dalam industri minerba dan panas bumi diatur dalam Omnibus Law. Misal minerba itu terkait konflik pembebasan lahan, hilirisasi, divestasi tidak diatur. Namun berharap pemasalahan yang tidak diatur dalam Omnibus Law, diharapkan diatur lebih lanjut dalam PP. Konsistensi pelaksanaan dan implementasi atas kebijakan pokok yang sudah dirumuskan juga penting,” paparnya.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba, Irwandy Arif, mengatakan bahwa UU Omnibus Law secara garis besar mengatur tiga hal terkait minerba yakni perizinan berusaha, sanksi administratif dan royalti sampai dengan 0 persen.

Irwandy menyebut bahwa UU Omnibus Law dapat meningkatkan minat investasi dalam kegiatan hilirisasi (peningkatan nilai tambah) batubara di dalam negeri dan pelaksanaan hilirasi batubara di dalam negeri akan menciptakan multiplier effect. Dan yang paling penting adalah UU Omnibus Law memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha serta perlindungan hak bagi para pemegang izin di sektor pertambangan mineral dan batubara baik berskala kecil ataupun skala besar.

“Arah kebijakan ini adalah nilai tambah. Dan diharapkan dapat memberikan nilai tambah untuk ekonomi kita dan menciptakan nilai hulu baru,” katanya pada acara yang sama.

Saat ini pemerintah bersama pihak terkait tengah melakukan penyusunan RPP Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). Dalam RPP NSPK pendekatan yang dilakukan adalah positif artinya tidak dimungkinkan lagi ada perizinan selain yang tercantum dalam RPP NSPK. Terakhir, posisi RPP NSPK tengah dievaluasi bersama dengan Kementerian Koordinator dan Perekonomian (Kemenko).

Adapun beberapa pokok RPP NSPK adalah terkait perizinan berusaha dilaksanakan melalui pemberian: nomor induk berusaha; sertifikat standar; dan/atau izin, izin dalam perizinan berusaha kegiatan usaha pertambangan terdiri atas: IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, izin penugasan, Izin Pengangkutan dan Penjualan, IUJP, dan IUP untuk Penjualan.

Kemudian terkait kewajiban dan/atau persyaratan Perizinan Berusaha dan Perizinan Penunjang kegiatan usaha pertambangan, dan menteri melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan pemegang perizinan berusaha dan pemegang perizinan penunjang kegiatan usaha pertambangan, serta sanksi administratif.

Tags:

Berita Terkait