7 Tokoh Hukum Kawakan Tutup Usia Sepanjang 2021
Kaleidoskop 2021

7 Tokoh Hukum Kawakan Tutup Usia Sepanjang 2021

Mulai Prof Muladi, Artidjo Alkostar, Basrief Arief, Prof Arie Sukanti Hutagalung, Prof Mardjono Reksodiputro, Prof Mochtar Kusumaatmadja, hingga Prof JE Sahetapy.

Agus Sahbani
Bacaan 11 Menit
Dari kiri atas ke bawah: Prof Mochtar Kusumaatmadja, Artidjo Alkostar, Prof JE Sahetapy, Prof Arie S Hutagalung, Basrief Arief, Prof Muladi, Prof Mardjono Reksodiputro. Foto Kolase: RES
Dari kiri atas ke bawah: Prof Mochtar Kusumaatmadja, Artidjo Alkostar, Prof JE Sahetapy, Prof Arie S Hutagalung, Basrief Arief, Prof Muladi, Prof Mardjono Reksodiputro. Foto Kolase: RES

Tahun 2021 menjadi tahun yang cukup berat bagi dunia hukum di Indonesia. Sebab, sejumlah tokoh hukum kenamaan wafat atau tutup usia selama tahun 2021. Mereka merupakan tokoh hukum yang sangat berjasa bagi negara dan berpengaruh besar dalam pengembangan bidang hukum di Tanah Air. Siapa saja mereka? Berikut ini sejumlah tokoh hukum kawakan yang wafat sepanjang tahun 2021.

  1. Prof Muladi  

Jelang memasuki awal tahun 2021, dunia hukum mendapat kabar duka atas wafatnya mantan Menteri Kehakiman (1998-1999), Prof Muladi pada Kamis 31 Desember 2020 pagi di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Pria yang pernah menjabat mensesneg (era Presiden BJ Habibie), hakim agung, hingga gubernur Lemhanas (era Presiden SBY) ini meninggal dunia dalam usia 77 tahun karena sakit yang dideritanya.

Sejumlah tokoh hukum di Tanah Air merasa kehilangan atas kepergian Muladi yang memang sangat berjasa bagi negara, khususnya dalam pengembangan dunia hukum di Tanah Air. Terlebih, belakangan terakhir, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) dan mantan Rektor Undip (1994-1998) ini pernah menjadi Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP karena kepakarannya dalam hukum pidana.   

Bahkan, sekitar 2 bulan sebelum wafat, pria kelahiran Surakarta, 26 Mei 1943 ini, sempat mengisi acara sebagai pembicara saat webinar dalam rangka silaturrahim Ikatan Alumni Program Doktor Hukum Universitas Diponegoro, Sabtu (17/10/2020) lalu. Dalam acara ini, Muladi menyampaikan gagasan tentang “Indonesian way”, sebagai jalan tengah pengaturan pidana mati di Indonesia. Jalan tengah ini merupakan solusi terhadap perdebatan panjang antara kelompok yang menyetujui (pro) dan menolak (kontra) hukuman mati. Dua kelompok ini bukan hanya ada di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia.

“Pidana mati dianggap tidak efektif menekan kejahatan, pidana seumur hidup lebih manusiawi,” kata Muladi saat itu.

“Indonesian way” yang dimaksud Prof Muladi adalah pidana mati bersyarat. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati diberikan masa percobaan selama 10 tahun. Jika terpidana menunjukkan rasa menyesal atau ada alasan yang meringankan, maka hukumannya diubah menjadi seumur hidup. Bagaimana caranya?

Prasyarat mengubah jenis hukuman itu harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Jika syaratnya terpenuhi maka perubahan hukuman terpidana mati dituangkan dalam Keputusan Presiden. Tetapi, harus didahului pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. “Pidana mati bersyarat merupakan solusi jalan tengah,” kata dia.

Alhasil, gagasan “Indonesian way” ini telah diadopsi dalam RUU KUHP yang sedang disusun. Pasal 100 RUU KUHP mencantumkan pidana mati bersyarat dengan masa percobaan 10 tahun. Terpidana dapat lolos dari eksekusi mati jika menunjukkan penyesalan, ada faktor yang meringankan atau ternyata peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting.

RUU KUHP juga memberi perhatian khusus pada orang-orang dalam kondisi tertentu yang dijatuhi hukuman mati, seperti perempuan yang sedang hamil dan menyusui, atau orang yang sakit jiwa. Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan yang hamil dan menyusui ditunda sampai ia melahirkan dan selesai menyusui bayinya. Sedangkan eksekusi orang yang sakit jiwa ditunda hingga yang bersangkutan sembuh.

  1. Artidjo Alkostar

Kalangan dunia hukum pernah dikagetkan kabar wafatnya mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar pada Minggu 28 Februari 2021 siang dalam usia 73 tahun. Padahal, Anggota Dewan Pengawas KPK ini terlihat masih menjalankan aktivitasnya pada Jumat, 26 Februari 2021 di gedung Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK.

Artidjo Alkostar lahir di Situbondo pada 22 Mei 1948. Sejak 20 Desember 2019, Artidjo menjadi Dewan Pengawas KPK 2019-2023 bersama dengan Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho, Syamsuddin Haris, dan Harjono. Sebelum menjabat anggota Dewas KPK, Artidjo menjabat Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA). 

Sejak 1970-an, Artidjo mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Sejak lulus FH UII Yogyakarta pada 1976, Artidjo mengawali kariernya sebagai dosen di UII Yogyakarta. Bahkan, Artidjo masih tercatat sebagai dosen di almaternya itu hingga saat ini.     

Selain ngedosen, alumnus magister hukum di Nortwestern University Chicago pada 2002 ini malang-melintang dalam dunia kepengacaraan dan advokasi. Artidjo tercatat pernah menjadi Direktur Sekolah Konsultan Hukum dan Advokat Profesional Indonesia Yogyakarta (SKHAPI), Anggota Dewan Kehormatan IKADIN Cabang Yogyakarta.

Lalu, pernah menjadi Staf Ahli Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII, Pendiri Lembaga Pembela Hukum (LPH) Yogyakarta dan LPH Madura, Staf Ahli LBH Yogyakarta. Direktur LBH Yogyakarta dari tahun 1989-1993. Kemudian, Pendiri Pusat Advokasi Hak Asasi Manusia (PAHAM) Yogyakarta, Direktur Pusat Studi HAM UII tahun 2000.

Awal tahun 2000-an, Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra pernah meminta Artidjo untuk mendaftar menjadi hakim agung. Sebelum menerima tawaran itu, Artidjo meminta restu kepada para kiai di Madura yang dihormati. Alhasil, Artidjo dinyatakan lulus dan resmi menjadi hakim agung. Lalu, alumnus doktor ilmu hukum FH Universitas Diponegoro (2007) ini dipercaya menjadi Ketua Muda Pidana Umum pada April tahun 2009 dan kemudian berubah nama menjadi Ketua Kamar Pidana MA hingga saat ini.

Selama berkarir sebagai hakim agung hingga 22 Mei 2018, Artidjo tercatat sudah menangani 19.483 perkara. Artidjo juga dikenal sebagai seorang Hakim Agung yang kerap memberikan vonis berat pada pelaku korupsi. Sejak bertugas di MA, Artidjo telah menyidangkan 842 pelaku korupsi dengan mayoritas putusan tergolong sangat berat. Ketegasan Artidjo pernah dirasakan mantan Ketua MK M. Akil Mochtar dalam perkara penerimaan suap terkait penanganan sengketa pilkada di MK. Saat itu permohonan kasasinya ditolak, sehingga Akil tetap harus menjalani hukuman seumur hidup sesuai putusan banding.

  1. Basrief Arief

Mantan Jaksa Agung Basrief Arief meninggal dunia pada Selasa 23 Maret 2021 sekitar pukul 10.00 WIB dalam usia 74 tahun. Keluarga Besar Korps Adhyaksa merasa sangat kehilangan atas kepergian Basrief Arief untuk selamanya mengingat yang bersangkutan sangat berjasa bagi reformasi di lembaga Kejaksaan. (Baca Juga: Kejaksaan Tak Bisa Jalan Sendiri)

Mengutip berbagai sumber, Basrief lahir di Tanjung Enim, Sumatera Selatan pada 23 Januari 1947. Basrief Arief adalah Jaksa Agung yang dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Keppres No. 127/P/2010, menggantikan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Kala itu, Hendarman Supandji “dipaksa” turun dari kursi Jaksa Agung akibat putusan MK.

Semasa hidup, ia menjabat Jaksa Agung selama satu periode dari 26 November 2010 hingga 20 Oktober 2014. Sebelum jadi Jaksa Agung, Basrief Arief adalah Wakil Jaksa Agung pada 2005-Februari 2007. Semasa bertugas Basrief Arief pernah menduduki jabatan penting dalam penegakan hukum di Korps Adhyaksa. Seperti, Tim Pemburu Koruptor; Asisten Pidum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta; Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Staf Ahli di Kejaksaan Agung; dan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel).

Sebelumnya pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Belawan, Sumatera Utara pada 1993. Kemudian menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Cibinong dan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Selepas dari jabatan itu, pada tahun 2000, dia diamanahi mengemban jabatan Kepala Kejati DKI Jakarta. Selang satu tahun, Basrief didapuk sebagai Jaksa Agung Muda Intelijen hingga tahun 2005.

Dia pernah mengikuti sekolah hakim dan jaksa pada selama kurang lebih empat tahun sejak tahun 1963 hingga 1967. Setelah itu, Basrief melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Andalas Jurusan Hukum Perdata. Program Pascasarjananya diraih di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Jurusan Hukum Pidana.

Berbagai pendidikan kedinasan ditempuhnya setelah bergabung dengan Kejaksaan Agung, antara lain pendidikan Susdas Wira Intel (1987), Terampil Jaksa Pidum (1988), Spadya (1990), Penyelundupan (1992), Sespanas (1995), Lemhanas (1991), serta Perjanjian Indonesia-Prancis (2003) di Prancis.

  1. Prof Arie Sukanti Hutagalung

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Prof Arie Sukanti Hutagalung meninggal dunia pada Jum’at 7 Mei 2021 sekitar pukul 9.45 WIB di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia jelang memasuki usia 60 tahun. Prof Arie lahir di Jakarta pada 29 September 1951, memperoleh gelar Sarjana Hukum dari FH UI pada 1976.

Ia meneruskan Program Pascasarjana nondegree Studi Pembangunan Indonesia (Regional Development Planning), FISIP UI Jakarta-ISS Den Haag yang diselesaikan pada tahun 1979. Kemudian gelar Master dalam Master of Science in Legal Institution (MLI) diperoleh dari University of Wisconsin Law School, Madison, USA pada 1981.

Semasa hidup, Prof Arie S Hutagalung tercatat sebagai Guru Besar Hukum Agraria, Ketua Dewan Guru Besar Fakultas (DGBF) UI, dan anggota Tim Inti Komisi A Dewan Guru Besar (DGB) UI. Karya ilmiahnya tersebar dalam berbagai penelitian, buku, dan dalam jurnal-jurnal ilmiah.

Buku-buku karyanya antara lain: Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Tanya Jawab Masalah Pertanahan; Condominium dan Permasalahannya; Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi (Suatu Kumpulan Karangan); Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah; Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan.

Dalam jurnal ilmiah diantaranya Pemberian Hak Tanggungan bagi Bank dan Pengembang dalam Pemberian Kredit Properti; Masalah-masalah Yuridis Praktis dalam Persiapan Kontrak Bisnis dan Hubungannya dengan Pelaksanaan Kontrak Tersebut; Eksekusi Jaminan Fidusia Menurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; dan lain-lain.  

  1. Prof Mardjono Reksodiputro

Sivitas akademika FH UI kembali kehilangan sosok guru besar terbaiknya. Mantan Dekan FH UI periode 1984-1990, Prof Mardjono Reksodiputro wafat pada Jumat 21 Mei 2021 pukul 05.05 WIB di RSCM Kencana, Jakarta dalam usia 84 tahun. Semasa hidup, Prof Mardjono dikenal sebagai Guru Besar FH UI yang tak asing di kalangan dunia hukum.

Selain sebagai guru/dosen, mantan Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN), salah satu Ketua Tim RKUHP ini juga konsisten sebagai teman serikat pada Kantor Hukum ternama Ali Budiardjo Nugroho Reksodiputro (ABNR) sejak 1967 yang eksis hingga sekarang. Termasuk salah satu pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera. Banyak kalangan akademisi di FH UI yang merasa sangat kehilangan mengenang jasa-jasa Prof Mardjono dalam dunia hukum.

Mardjono Reksodiputro memulai kiprahnya di dunia hukum sejak ia mendapat gelar Sarjana Hukum dari FH UI pada 1962. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, dan memperoleh gelar Master of Art pada 1967. Selain mulai karirnya menjadi lawyer di ABNR sejak 1967, pria yang akrab disapa Pak Boy ini aktif berperan sebagai akademisi di beberapa perguruan tinggi.   

Sebelum menjadi Dekan FH UI pada 1984-1990, Prof Mardjono pernah menjadi Ketua Program Kekhususan Hukum Pidana pada Program Pascasarjana FH UI; Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila; dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghari Jambi. Sebelumnya, pernah menjabat Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1996-2006). Lalu, beliau pensiun sebagai Guru Besar Gol. IV/e pada Maret 2002. Tak lama kemudian menjadi salah anggota KHN hingga KHN dibubarkan Presiden Jokowi pada Desember 2014.

Ia resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar UI dengan pendalaman ilmu Kriminologi pada 1992. Namanya diabadikan sebagai nama sebuah gedung di Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia yakni “Gedung Mardjono Reksodiputro”, yang berada di Salemba, Jakarta Pusat pada 2009. Dari berbagai pengalamanya, baik sebagai praktisi hukum maupun pengajar di beberapa fakultas hukum, ia menekuni beberapa bidang secara khusus yaitu sistem peradilan pidana, hukum pidana dan kegiatan perekonomian, korporasi dan pertanggungjawaban pidana.

  1. Prof Mochtar Kusumaatmadja

Indonesia kembali kehilangan tokoh terbaik, mantan menteri di era Orde Baru, mantan Dekan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad) Prof Mochtar Kusumaatmadja tutup usia. Pakar hukum internasional dan advokat senior ini wafat pada Minggu 6 Juni 2021 sekitar pukul 09.00 WIB di RS Siloam Jakarta, dalam usia 92 tahun.

Mengutip Perpusnas.go.id, Mochtar Kusumaatmadja kerap mewakili Indonesia dalam Sidang PBB mengenai Hukum Laut, Jenewa dan New York. Ia berperan dalam konsep Wawasan Nusantara, terutama dalam menetapkan batas laut teritorial, batas darat, dan batas landas kontinen Indonesia. Ia juga berperan banyak dalam perundingan internasional, terutama dengan negara-negara tetangga mengenai batas darat dan batas laut teritorial itu. Tahun 1958-1961, dia telah mewakili Indonesia pada Konferensi Hukum Laut, Jenewa, Colombo, dan Tokyo. Beberapa karya tulisnya juga telah mengilhami lahirnya Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, 1970.

Mochtar Kusumaatmadja lahir pada 17 April 1929 di Jakarta. Setelah memperoleh gelar S-1 di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan UI pada 1955, pada tahun yang sama ia langsung melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Yale University (S-2) Amerika Serikat. Lalu, Mochtar melanjutkan program doktor (S-3) bidang ilmu hukum internasional di FH Unpad dan lulus pada 1962. Bahkan, ia pun peraih gelar doktor (S3) dari Universitas Harvard dan Universitas Chicago Amerika Serikat (1964-1966).

Selain tercatat sebagai Guru Besar dan pernah menjabat Dekan FH Unpad, Mochtar Kusumaatmadja pernah menduduki beberapa posisi menteri di era Presiden Soeharto. Ia pernah menjabat Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978 dan Menteri Luar Negeri Kabinet Kabinet Pembangunan III dan IV periode 1978-1988. Di sela-sela kesibukannya sebagai akademisi, Mochtar pernah mendirikan Kantor Hukum MKK yang merupakan akronim Mochtar, Kirkwood, dan Karuwin pada awal 1970, kantor hukum generasi pertama yang mempekerjakan advokat asing yang masih eksis hingga saat ini. 

  1. Prof JE Sahetapy  

Satu lagi, Indonesia kehilangan tokoh hukum kawakan. Adalah Prof Jacob Elfinus Sahetapy (JES) yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) meninggal dunia dalam usia 89 tahun pada Selasa 21 September 2021 pagi. Kabar duka ini diumumkan langsung dari FH Unair melalui pesan infografis yang disertai foto sang mantan Dekan FH Unair periode 1979-1985 itu.

Mengutip Biografi Nasional Daerah Jawa Timur (hal.57-63), pria kelahiran Saparua, Maluku Tengah pada 6 Juni 1932 ini dikenal sebagai seorang ilmuwan, pendidik, pembaharu ilmu hukum dengan puluhan karyanya dalam bentuk buku, artikel majalah, makalah.

JE Sahetapy pernah menempuh pendidikan ke Fakultas Hukum di Surabaya. Fakultas Hukum ini mulanya cabang dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Kemudian berdiri sendiri sebagai FH Unair. Tahun 1959, setelah pendidikannya selesai, JE Sahetapy diangkat menjadi tenaga tetap FH Unair. Kemudian, ia mendapat kesempatan mengikuti Graduate School di Universitas Utah, Amerika Serikat dalam Ilmu Business Administration dan Industrial Relation tahun 1960-1962. Pendidikan S-2 Ilmu Hukum diraihnya di FH Unair.

Semasa hidup, JE Sahetapy selain mengajar di FH Unair juga mengajar di FH Universitas Jember, IKIP Surabaya, FH Universitas Udayana, Universitas Pattimura Ambon, Sekolah Supply ALRI hingga FH Universitas Diponegoro. Hingga akhirnya dia diangkat sebagai Guru Besar di FH Unair. Pada acara pengukuhannya, Sahetapy memberikan pidato orasi ilmiahnya berjudul “Pisau Kriminologi”. Dia sempat terjun ke politik dan menjadi anggota DPR RI periode 1999-2004 dari Fraksi PDI Perjuangan.

Mantan Ketua Komisi Hukum Nasional (2000-2014) ini dikenal tokoh hukum yang sangat kritis bila melihat bobroknya praktik penegakan hukum di Tanah Air dalam pemerintahan siapapun. Dikutip dari artikel Hukumonline berjudul “Hukum yang Bernurani di Mata Sahetapy” yang merupakan artikel resensi buku biografinya (Juni 2007), Mohamad Sobari menyebut Sahetapy sebagai orang “yang lurus dan idealis hidupnya”. (Baca Juga: Hukum yang Bernurani di Mata Sahetapy)

Cukup banyak guru besar ilmu hukum di Indonesia. Tetapi jarang guru besar yang mau turun mendengarkan kaum muda berdiskusi masalah hukum, seperti JE Sahetapy yang gaya bicaranya tedeng aling-aling, blak-blakan. Ia kerap hadir sebagai peserta di seminar atau diskusi publik di layar kaca, meskipun pembicaranya adalah murid-muridnya.

JE Sahetapy bersedia turun gunung untuk mengamalkan segenap idealisme dan pengetahuannya dalam melihat potret penegakan hukum yang riil. Bahkan, dalam penuturan dan penyampaian pikirannya banyak orang tersinggung. Bahkan, Guru Besar Hukum Tata Negara FH UI Yusril Ihza Mahendra dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Prof Satjipto Rahardjo pernah menjadi sasaran kritik JE Sahetapy.

Tags:

Berita Terkait