7 Usulan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk RUU KSDAHE
Terbaru

7 Usulan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk RUU KSDAHE

Seperti harus mengutamakan paradigma konservasi berbasis HAM, hingga ada partisipasi publik yang bermakna.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Diskusi bertema ‘Pandangan Masyarakat Sipil Terhadap RUU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem’, Senin (13/02/2023). Foto: Ady
Diskusi bertema ‘Pandangan Masyarakat Sipil Terhadap RUU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem’, Senin (13/02/2023). Foto: Ady

Pemerintah dan DPR terus membahas  Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Dalam rapat kerja Komisi IV DPR beberapa waktu lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, mencatat ada sekitar 700 daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KSDAHE. Harapannya, pembahasan dapat rampung dan disahkan Maret mendatang.

Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Working Group ICCAs Indonesia (WGII) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengurai berbagai catatan terkait RUU yang nantinya mengganti UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya itu.

Anggota koalisi Yance Arizona, mengatakan koalisi sedikitnya mengusulkan 7 poin utama untuk penyempurnaan RUU KSDAHE. Pertama, RUU harus mengutamakan paradigma konservasi berbasis Hak Asasi Manusia (HAM). Selama ini, UU 5/1990 sangat berpusat pada pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan konservasi. Padahal kapasitas pemerintah melakukan kewajiban tersebut sangat terbatas mengingat wilayah konservasi tergolong luas yakni lebih dari 27 juta hektar.

“Masyarakat yang tinggal di wilayah konservasi sebagai ujung tombak kesuksesan konservasi,” ujarnya  dalam diskusi bertema ‘Pandangan Masyarakat Sipil Terhadap RUU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem’, Senin (13/02/2023) kemarin.

Baca juga:

Kedua, RUU KSDAHE perlu menerjemahkan komitmen internasional pemerintah Indonesia di bidang lingkungan hidup. Misalnya dalam Global Biodiversity Framework Post 2020 ada sejumlah target diantaranya terkait pengelolaan wilayah konservasi berbasis masyarakat. Dengan demikian, komitmen internasional itu terhubung dengan politik di tingkat nasional.

Ketiga, dalam melakukan penetapan kawasan konservasi, pemerintah harus memberikan informasi yang mengutamakan hak-hak masyarakat hukum adat atau lokal. Masyarakat berhak menyatakan setuju atau tidak terhadap program yang akan digurlirkan. RUU KSDAHE masih menggunakan cara lama dimana kawasan konservasi ditetapkan oleh pemerintah melalui rekomendasi lembaga penelitian seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).

Keempat, perlu pengaturan yang lebih kuat tentang kearifan lokal dalam kegiatan konservasi dan areal kelola konservasi masyarakat. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menerangkan, RUU KSDAHE sudah mengatur ketentuan tersebut tapi sifatnya masih umum. Oleh karena itu, harus dibuat lebih detil, sehingga masyarakat adat dan lokal bisa berpartisipasi.

Tags:

Berita Terkait