8 Catatan Penanganan Kasus Terorisme
Terbaru

8 Catatan Penanganan Kasus Terorisme

Antara lain masih terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM ketika proses penyidikan. Pemberi bantuan hukum dan advokat yang menangani perkara terorisme minim perlindungan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
 Diskusi bertema Analisis Kebijakan Penanganan Terorisme Terhadap Perlindungan HAM Warga Sipil Indonesia:Pembelajaran dan Prraktik Baik, Senin (17/7/2023). Foto: ADY
Diskusi bertema Analisis Kebijakan Penanganan Terorisme Terhadap Perlindungan HAM Warga Sipil Indonesia:Pembelajaran dan Prraktik Baik, Senin (17/7/2023). Foto: ADY

Terorisme merupakan salah satu kejahatan serius yang mendapat perhatian pemerintah. Regulasi yang digunakan untuk menangani kejahatan terorisme yakni UU No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti (Perppu) UU No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.

Pendiri sekaligus Direktur Yayasan Empatiku Mira Kusumarini, berharap penanganan terorisme berjalan selaras antara kebijakan dan pelaksanaan. Kejahatan terorisme menurut Mira jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) terutama terhadap korban. Seperti hak atas hidup, hak atas rasa aman, dan terbebas dari rasa takut. Tapi penting juga dalam menangani terorisme harus memastikan perlindungan HAM.

Setidaknya ada 8 catatan terhadap penanganan terorisme. Pertama, terhadap tersangka atau terdakwa, tercatat masih terjadi serangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM pada proses penyidikan. Masa penahanan melebihi ketentuan, dan sulit mengakses bantuan hukum atas pilihan sendiri.

“Tantangan informasi yang tepat dan akurat, dan data intelijen, kesamamaan pemahaman dan persepsi antar aparat penegak hukum terkait dual use goods, pelaku dan korban untuk menghindari proses salah tangkap. Masih banyak hal yang terungkap dalam praktik,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘Analisis Kebijakan Penanganan Terorisme Terhadap Perlindungan HAM Warga Sipil Indonesia:Pembelajaran dan Prraktik Baik’, Senin (17/7/2023).

Baca juga:

Kedua, terhadap terpidana. Mira menyoroti kebijakan ‘one man one cell’ yang berpotensi melanggar HAM. Penanganan narapidana risiko tinggi fokus pada keamanan daripada pembimbingan dan rehabilitasi. Ketiga, terhadap pelapor, saksi, ahli, dan korban, yakni tentang perlindungan medis, psikologi, dan psikosial yang dibatasi oleh waktu. Padahal kebutuhannya bisa lebih dari waktu yang ditentukan.

Korban tindak pidana terorisme juga tidak mendapat manfaat program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS. Penanganan korban secara komunal seperti kasus terorisme di Poso sampai saat ini belum tersedia. Serta sulitnya menegakkan hak menjaga identitas pelapor karena ujungnya terungkap di persidangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait