8 Putusan MK Menarik Sepanjang 2015
Refleksi 2015

8 Putusan MK Menarik Sepanjang 2015

Dari dibatalkannya UU SDA, polemik sumpah advokat, hingga rumusan delik aduan dalam KUHP.

ASH
Bacaan 2 Menit
siapa yang memiliki legal standing mengajukan gugatan, keputusan KPUD terkait perbedaan selisih hasil penghitungan suara setuju dan tidak setuju, dan tenggang waktu pengajuan gugatan 3 x 24 jam.

6. Putusan Pembatalan Kewenangan KY Rekrut Hakim
Sebulan berikutnya pada 8 Oktober 2015, MK membatalkan kewenangan KY dalam seleksi hakim tingkat pertama di tiga lingkungan peradilan melalui pengujian tiga paket UU Bidang Peradilan. Dengan begitu, kewenangan seleksi calon hakim tetap menjadi wewenang tunggal Mahkamah Agung (MA). Putusan ini sempat menuai protes dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) sebagai pihak terkait dengan mengadukan empat hakim konstitusi ke Dewan Etik.  

Saat persidangan pun, pengujian tiga paket UU Bidang Peradilan ini cukup banyak mendengar pandangan para ahli, terutama dari pihak pemohon dan pihak terkait dari KY. MA pun turut memberi keterangan sebagai pihak terkait. Makanya, proses pengujian tiga paket UU Bidang Peradilan yang diajukan IKAHI ini sempat mengundang konflik hubungan kelembagaan antara MA dan KY.

Apalagi, kedua lembaga sebelumnya sudah cukup lama merencanakan persiapan pelaksanaan seleksi calon hakim tingkat pertama secara bersama-sama hingga merumuskan draft Peraturan Bersama terkait seleksi calon hakim. Namun, lewat putusan MK bernomor 43/PUU-XIII/2015

7. Putusan PKWTT Lewat Penetapan Pengadilan
Tak berselang lama, pada 4 November 2015, MK memberi jalan hukum atas kebuntuanpelaksanaan frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003tentang Ketenagakerjaan. Aturan itu terkait terpenuhinya syarat-syarat perubahan status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) alias pekerja kontrakoutsourcing

Prosesnya, pengesahan peralihan status dari PKWT ke PKWTT harus melalui penetapan pengadilan negeri. Sebelum ke pengadilan kedua pihak (pekerja dan pengusaha) telah menempuh upaya perundingan bipartit, tetapi tidak mencapai kesepakatan dan adanya nota hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan pada Dinas Ketenagakerjaan. Sebab, selama ini penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan terkait peralihan pekerja PKWT ke PKWTT tidak pernah dijalankan secara sukarela oleh pengusaha. Penetapan ini pun tidak bisa dimintakan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) atau PTUN.

Lewat putusan bernomor 7/PUU-XII/2014 yang dimohonkan sejumlah aktivis buruh ini setidaknya bisa menjadi “modal” bagi pekerja kontrak/outsourcing yang memenuhi syarat untuk bisa diangkat sebagai pegawai tetap di sebuah perusahaan pengguna atau perusahaan pemberi jasa pekerjaan. Meski putusan ini terkesan melindungi buruh/pekerja kontrak, namun hingga kini belum ada aturan teknis dari instansi terkait prosedur pengajuan penetapan peralihan PKWT menjadi PKWTT ini ke pengadilan negeri.            
Tags:

Berita Terkait