Ab Massier dan Cerita tentang Bahasa Hukum Indonesia yang Terabaikan
Utama

Ab Massier dan Cerita tentang Bahasa Hukum Indonesia yang Terabaikan

Bahasa bukan hanya pakaian hukum, namun badan yang sesungguhnya dari hukum itu.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Pada Simposium Bahasa dan Hukum di Medan, 1974, ada banyak rekomendasi yang berkaitan dengan pengembangan istilah hukum. Bagaimana Anda melihat kebijakan pemerintah dalam pengembangan bahasa hukum?

Seperti yang saya tuliskan dalam tesis saya, upaya dari luar sistem hukum negara untuk mengembangkan terminologi hukum jauh lebih lemah pengaruhnya dibandingkan dengan pembentukan terminologi oleh teks hukum Indonesia yang otoritatif (misalnya dengan produk legislasi baru). Oleh karena itu, KUHP yang baru akan sangat berkontribusi untuk penyeragaman istilah hukum pidana. Jauh lebih berpengaruh dibandingkan berbagai proyek penyusunan terminologi hukum.

Ini bukan berarti bahwa kamus hukum tidak berguna, tentu saja kamus hukum berguna untuk mencatat berbagai istilah yang pernah atau masih berlaku (sebuah peti harta karun baik untuk para ahli sejarah hukum maupun ahli sejarah bahasa!). Bisa juga berperan menjembatani pemahaman di antara para praktisi hukum dalam konteks internasional (misalnya Indonesisch-Nederlands Woordenboek Privaatrecht/Kamus Hukum Perdata Indonesia-Belanda yang diterbitkan tahun 2000).

Kongres-kongres bahasa Indonesia yang dilaksanakan belakangan, justru tak eksplisit lagi menyinggung bahasa hukum. Apakah Anda melihat perhatian terhadap bahasa hukum dari Badan Bahasa (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan) dan kalangan hukum makin berkurang?

Sudah lama saya tidak mengikuti perkembangan kebijakan soal Bahasa Indonesia. Tentu saja jika Badan Bahasa semakin tidak mempersoalkan bahasa hukum bisa dilihat sebagai tanda telah terjadi perbaikan. Di sisi lain, belum tentu perhatian yang lebih banyak dari Badan Bahasa dalam mempengaruhi bahasa hukum dan istilah hukum bisa lebih berdampak. Minggu lalu ada siaran berita televisi di Belanda tentang inisiatif untuk mengutus tim ahli bahasa ke lembaga-lembaga pemerintahan Belanda. Mereka diminta membantu pemerintah untuk menerjemahkan berbagai gaya bahasa birokrasi pada berbagai formulir administrasi dan dokumen resmi ke dalam bahasa Belanda yang dipahami secara umum.

Proyek semacam ini hanya akan sangat sedikit berhasil  untuk persoalan bahasa hukum karena banyak kondisi khusus yang menyebabkannya jadi seperti yang kita lihat. Apalagi para praktisi hukum, seperti kalangan profesional lainnya, mengembangkan ‘kebiasaan berbahasa’ yang tujuannya mempertahankan ‘tradisi’ dan membedakan wilayah profesi mereka terhadap kalangan awam.

Apa saja faktor yang menghambat pengembangan bahasa hukum dalam kaitannya dengan studi hukum, khususnya di Indonesia?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait