Access to “Justice”
Tajuk

Access to “Justice”

​​​​​​​Kemajuan cara berpikir, teknologi dan kemampuan untuk hidup lebih normal harusnya mampu membawa kita semua keluar dari krisis ini.

Oleh:
RED
Bacaan 10 Menit

Masalah pertama muncul terkait dengan bantuan atau stimulus atau relaksasi atau apapun namanya untuk para pelaku bisnis besar, menengah dan kecil bahkan mikro termasuk pelaku usaha kaki lima. Kita tahu bahwa pengusaha besar mengalami dampak negatif yang besar dari pandemi ini, semata karena besaran investasi, industri dan perdagangan yang mereka lakukan. Terhentinya produksi, lemahnya perdagangan dan hambatan supply chain dalam sistem produksi dan perdagangan mereka menggerus pendapatan. Sementara kewajiban kepada kreditur, karyawan, pajak dan pemasok serta kewajiban finansial lainnya tidak bisa seluruhnya dihentikan atau ditunda.

Stimulus yang diberikan pemerintah tidak akan seluruhnya bisa menghentikan atau mengatasi biaya yang harus mereka bayar. Dalam keadaan seperti itu, rasio-rasio keuangan mereka menjadi babak belur, proyeksi keuangan melorot jauh dari target capaian, dan bayangan untuk bangkit dan memulai kegiatan usaha dibayangi oleh ketidakpastian tentang akhir dari pandemi. Banyak di antaranya sudah memasuki ranah payment atau setidaknya technical defaults. Dalam keadaan normal, dengan membaca rasio keuangan tersebut, kreditur sudah akan melakukan tindakan pengamanan, pajak akan memeriksa buku mereka untuk memastikan tidak ada tax frauds, pemasok mulai menghentikan pasokan, tagihan-tagihan yang sudah jatuh tempo berlomba untuk mendapatkan prioritas pembayaran, dan investor menghentikan aliran dana. Bukan tidak mungkin bayangan akan dilakukannya tindakan hukum temasuk tindakan memailitkan sudah mulai muncul.

Hanya saja perlu diingat bahwa dalam banyak krisis, kita mendengar kebangkrutan dari banyak perusahaan, sehingga mereka menjadi sasaran akuisisi, yang sering sekali hostile, atau dibiarkan mati untuk berbagai macam alasan, apakah itu merupakan bentuk suatu penghukuman, atau suatu tindakan mengurangi persaingan usaha. Akan tetapi jarang kita mendengar orangnya, pemegang saham pengendalinya, pengusahanya pribadi, atau kekayaan keluarganya juga ikut ludes atau bangkrut. Simpanan atau aset mereka masih lebih dari cukup untuk hidup baik di atas rata-rata kelas menengah, dan bahkan banyak yang masih mencukupi untuk bekal bangkit kembali setelah pandemi selesai.

Pengusaha yang baik dan punya integritas tinggi sedapat mungkin akan meneruskan usahanya dalam skala yang mereka mampu lakukan, membayar kewajiban pajak dan kepada kreditur serta karyawannya, tentu dengan berbagai variasi restrukturisasi yang dapat diterima oleh stakeholders mereka. Yang lainnya memilih menghentikan semua kewajibannya, bertahan dengan simpanannya, dan tidak terlalu pusing dengan reputasinya. Contoh paling nyata adalah pada waktu kita mengalami resesi ekonomi karena Asian Crisis tahun 1998 di mana banyak pengusaha mengesankan bangkrut, tapi kemudian beberapa tahun kemudian menjelma menjadi konglomerat baru dengan jaringan, nama dan wajah baru. Mereka yang punya integritas tinggi, membayar kewajibannya, dan mulai kembali usahanya dari titik awal lagi, bisa dihitung dengan jari jumlahnya.   

Sedangkan pengusaha menengah, kecil dan mikro tidak punya cukup ketahanan seperti pengusaha besar dalam situasi seperti ini. Harapan akan adanya stimulus, relaksasi, dan bantuan keuangan pemerintah dan otoritas keuangan sangat menentukan mati hidupnya usaha mereka. Simpanan perusahaan dan pemiliknyapun menipis dan habis untuk membayar biaya yang tidak seluruhnya bisa dihentikan. Merekalah yang paling menderita. Merekalah yang sebetulnya menjadi penopang utama ekonomi kita, dan mereka jugalah yang sekarang harus lebih ditolong. Pemerintah dan otoritas keuangan tentu telah memberlakukan sejumlah kebijakan yang dirasa mampu membantu kehidupan ekonomi menengah, kecil dan mikro. Apakah itu cukup? Apakah itu adil, dibanding dengan kebijakan yang juga diterapkan kepada pengusaha besar? Kita akan melihatnya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Disiplin prokes yang rendah di kalangan masyarakat menengah ke bawah selama pandemi ini menunjukkan adanya indikasi kuat kebutuhan untuk sekedar survive yang tinggi diantara mereka, jadi bukan karena kita adalah model masyarakat yang bandel dan tidak punya kepedulian dengan hidup matinya orang lain. Kita bukan negara kaya, dan kita punya keterbatasan untuk memberikan stimulus, bantuan langsung dan relaksasi tersebut. Kebijakan yang terlalu bebas akan menyebabkan daya bangkit kita nanti akan sangat lemah dan lambat. Governance-pun akan bisa kendor. Kebijakan yang pas juga tidak mudah karenanya. Di sini, sekali lagi, diperlukan keadilan terhadap kebijakan akses bantuan, stimulus dan relaksasi tersebut.  

Masalah kedua yang muncul adalah akses terhadap informasi publik yang transparan. Seseorang, kelompok orang, suatu organisasi dan perusahaan tidak akan mampu membuat keputusan yang tepat menghadapi pandemi yang dperkirakan oleh para ahli akan masih berlangsung 2-3 tahun lagi tanpa akses informasi yasng baik. Kita mendengar minggu ini bahwa Menteri Kesehatan tidak akan menggunakan data dari departemennya sendiri, tetapi akan menggunakan data dari KPU dari pemilu tahun 2019 yang lalu (hal yang sudah banyak diusulkan di awal pandemi). Bisa dibayangkan kalau departemen yang paling bertanggung jawab untuk menanggulangi pandemi tidak punya data yang bisa diandalkan untuk menyusun tindakan-tindakan kedaruratannya.

Tags:

Berita Terkait