Ada 625 Izin Tambang di Calon Ibu Kota Baru
Berita

Ada 625 Izin Tambang di Calon Ibu Kota Baru

Sementara di Bukit Soeharto pun terdapat 44 izin tambang.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan lokasi baru calon Ibu Kota Republik Indonesia. Foto: RES
Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan lokasi baru calon Ibu Kota Republik Indonesia. Foto: RES

Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan lokasi baru calon Ibu Kota Republik Indonesia. Calon ibu kota yang selama ini digadang-gadangkan akan bertempat di Kalimantan Timur akhirnya dikonfirmasi oleh Jokowi. Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara diumumkan oleh Jokowi. Bukan hal baru, kedua kabupaten ini telah diprediksi sejumlah pihak sebelumnya.

 

Terhadap hal ini, respons sejumlah pihak beragam. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) memperkirakan pemindahan Ibu kota ini hanya akan menguntungkan pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur. Menurut data JATAM Kaltim, terdapat 1.190 IUP di Kalimantan Timur dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Di kecamatan Samboja saja misalnya, terdapat 90 Izin pertambangan.

 

Sementara di Bukit Soeharto terdapat 44 izin tambang. PT Singlurus Pratama sebuah perusahaan pertambangan yang konsesinya paling besar di sekitar Samboja. Menurut JATAM Kaltim, korporasi ini akan sangat diuntungkan. Selanjutnya di Kabupaten Penajam Paser Utara terutama di Kecamatan Sepaku, rencana ini akan sangat menguntungkan Hashim Djojohadikusumo karena lahan di sana dikuasai oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama (HPH).

 

“Pemindahan ibu kota ini tidak lebih dari kompensasi politik atau bagi-bagi proyek pasca Pilpres,” ujar Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim. Selain itu, JATAM menilai keputusan Jokowi untuk memindahkan Ibu kota negara ke Kalimantan Timur terlalu terburu-buru. Keputusan ini terkesan hanya mengejar proyek bernilai ratusan triliun rupiah yang menguntungkan segelintir penguasa lahan.

 

Pemindahan itu juga menafikan masalah lingkungan yang dihadapi Jakarta dan Kalimantan yang seharusnya menjadi perhatian utama presiden untuk dipulihkan. Sejak Jokowi mengumumkan rencana pemindahan ibu kota, termasuk kepastian lokasi pada hari ini, tidak diikuti dengan publikasi kajian ilmiah yang mendukung ambisi tersebut. Kajian tersebut bukan hanya soal berapa anggaran yang disiapkan namun lebih dari pada itu. Misalnya bagaimana beban lingkungan saat ini dan budaya masyarakat setempat jika terjadi eksodus sekitar 1 juta orang luar ke daerah mereka.

 

“Ide itu tidak dilandasi oleh kajian ilmiah makanya rencana pemindahan ibu kota jelas serampangan dan bisa jadi hanya ambisi satu orang. Proses komunikasi antara presiden dan pembantunya soal telah diputuskannya provinsi calon ibu kota lalu diralat, dapat menunjukkan rencana ini jauh dari pembicaraan yang mendalam dan tidak solid,” ujar Koordinator JATAM Nasional, Merah Johansyah kepada hukumonline, Senin (26/8).

 

Selain itu, Merah juga mempertanyakan dasar keputusan pemindahan yang tidak melibatkan masyarakat. Tanpa jajak pendapat yang melibatkan warga. Menurut Merah, terdapat hak warga untuk menyampaikan pendapat yang jelas diingkari. “Suara warga Kalimantan Timur termasuk suara masyarakat adatnya tidak diberi ruang,” ujar Merah menambahkan.

 

(Baca Juga: DPR Minta Pemerintah Ajukan Konsep Rencana Pemindahan Ibukota)

 

Sementara itu, pemindahan Ibu kota ini juga dinilai akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan di Teluk Balikpapan. Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, setidaknya lebih 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan. Jumlah ini terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, 2.984 nelayan dari Penajam Paser Utara, dan 1.253 nelayan dari Balikpapan.

 

"Ancaman sekarang ini selain telah menjadi jalur lalu lintas kapal-kapal tongkang batu bara, Teluk Balikpapan akan dijadikan satu-satunya jalur logistic untuk kebutuhan pembangunan ibu kota baru," terang Sekertaris Jenderal KIARA, Susan Herawati.

 

Susan mengatakan, Kalimantan Timur belum memiliki perda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengesahan Perda selanjutnya, akan menyesuaikan dengan kepentingan pembangunan ibu kota baru. Karena itu, Susan menilai Perda zonasi Kalimantan Timur yang muncul nantinya tidak akan mempertimbangkan kepentingan masyarakat pesisir, khususnya di sekitar Teluk Balikpapan, tetapi untuk pembangunan ibu kota baru dan kepentingan industri batu bara.

 

Menurut Susan, situasi yang tidak lebih baik juga sedang terjadi di Jakarta. Di Jakarta, polusi udara sudah memasuki level mengerikan. Presiden Jokowi yang kini sedang digugat oleh publik, seharusnya menempatkan masalah polusi udara sebagai pekerjaan rumah utama yang segera diselesaikan. Apalagi presiden adalah satu di antara pihak yang digugat publik.

 

“Jakarta saat ini mengalami krisis lingkungan seperti air tanah yang berkurang, kemacetan dan polusi. Justru di sini letak kepemimpinan Jokowi diuji, apakah ikut bertanggung jawab mencari solusinya atau malah lari memindahkan ibu kota, meninggalkan rakyat dengan persoalan dan beban, ini menjadi cermin juga untuk persoalan lingkungan lainnya,“ katanya.

 

Kepala Departemen Advokasi WALHI, Zenzi Suhadi, juga mengungkap situasi yang kurang lebih sama dengan Kalimantan Timur. Menurut Zenzi, seluruh wilayah provinsi Kalimantan Timur sudah tersandera oleh konsesi pertambangan, perkebunan sawit dan izin kehutanan. Sisanya adalah hutan lindung. Ini juga yang akan ditargetkan untuk ibu kota. Untuk itu Zenzi menilai, beban lingkungan yang ditanggung Kalimantan Timur itu justru sama besarnya dengan yang ditanggung Jakarta.

 

“Lubang-lubang tambang yang terus membunuh masyarakat, dan tidak adanya penegakan hukum bagi pemilik eks konsesi, ini yang harus dibenahi terlebih dahulu. Alih-alih mewariskan sejarah memindahkan ibu kota negara, Jokowi justru akan dikenang sebagai presiden yang menghindari masalah, bukannya bekerja dan menyelesaikannya,” ujar Zenzi.

 

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI, Achmad Baidowi mengingatkan, hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah ke depan adalah terkait tata ruang, serta pengendalian kepadatan penduduk. Ibu kota baru menurut Baidowi, jangan sampai mengulang persoalan serupa yang melanda Jakarta. “Karena tipikal masyarakat Indonesia biasanya mendekat kepada pusat pemerintahan sehingga harus betul-betul ada pengendalian terhadap kawasan tersebut,” ujarnya.

 

Terkait Jakarta, Baidowi mengingatkan pemerintah untuk ditangani setelah tidak lagi menjadi ibu kota. Menjadikan pusat kota bisnis dan perdagangan harus jelas konsepnya. Jangan sampai nanti, aktivitas bisnis dan perdagangan ikut mendekati ke kawasan ibu kota baru. Hal ini akan menjadikan Jakarta sebagai kota yang meredup. Tidak lupa, ia juga mengingatkan segera ada perubahan regulasi tentang UU Ibu Kota.  

 

Sedangkan pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan penetapan ibu kota suatu negara harus memiliki payung hukum supaya proses pemindahan tidak dinilai ilegal.

 

"Harus ada payung hukum untuk bisa mengamankan proses pemindahan ibu kota, karena ini nanti implikasinya sangat luas, misalnya perubahan wajah DKI Jakarta sebagai ibu kota," ujar Feri ketika dihubungi Antara di Jakarta, Senin (26/8).

 

Menurut Feri, salah satu payung hukum yang dapat digunakan adalah UU Pemindahan Ibukota yang seharusnya segera diundangkan. Sebelum itu disahkan, Feri menilai DPR dapat mengesahkan RUU Pemindahan Ibu Kota terlebih dahulu. "Itu seharusnya dilakukan sebelum Presiden Jokowi pengumuman pemindahan," kata Feri.

 

Menurut Feri, pemindahan ibu kota cukup diatur dalam pasal peralihan dalam Undang Undang Ibukota yang baru. Pasal peralihan tersebut sebagai payung hukum, bisa memuat penghapusan atau pembatalan UU Ibukota Negara yang lama, sehingga tidak ada undang-undang atau peraturan yang tumpang tindih terkait dengan Ibu Kota.

 

Tags:

Berita Terkait