Ada Tiga Pandangan Soal Amendemen Konstitusi
Terbaru

Ada Tiga Pandangan Soal Amendemen Konstitusi

Amendemen konstitus mesti terlebih dahulu memenuhi syarat dan adanya alasan yang kuat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna. Foto: RFQ
Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna. Foto: RFQ

Raut wajah mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mendadak serius saat membahas amendemen UUD 1945 pasca reformasi tahun 1998. Mengenakan batik lengan panjang berwarna coklat, Gede Palguna di atas podium bercerita panjang proses amendemen konstitusi bersama sejumlah koleganya di Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999 silam. Tapi belakangan, ia cemas adanya wacana amendemen konstitusi yang ingin mengembalikan ke UUD 1945 sebelum amendemen yang dinilainya tidak tepat.

“Saya agak cemas juga adanya satu gerakan ingin kembali ke UUD 1945,” ujarnya dalam sebuah diskusi memperingati Hari Konstitusi bertajuk “20 Tahun Perubahan UUD 1945” di Gedung MK, Kamis (18/8/2022).

Dia sempat dimintakan pendapatnya oleh sebuah koran daerah tentang amendemen kelima konstitusi. Baginya perubahan sebuah keniscayaan. Karena itulah UUD 1945 memberi peluang atau sarana melalui Pasal 37 UUD Tahun 1945. Hanya saja upaya mengamendemen memerlukan syarat dan alasan terlebih dahulu. Namun, Palguna memberikan jawaban seraya bergurau.

“Tapi Anda tahu, power-ranger mau berubah perlu alasan untuk berubah. Jadi tidak bisa tiba-tiba berubah menjadi monster. Sekarang alasannya apa (mengamandemenn, red)?”

Selaku salah satu pelaku sejarah yang pernah mengamendemen konstitusi saat menjadi anggota MPR, Palguna melihat kalangan yang menghendaki kembali ke UUD 1945 lama dengan dalih hasil amendemen konstitusi yang berlaku saat ini telah berkhianat dari cita-cita bangsa. Dia menerangkan amendemen konstitusi yang dilakukan kala itu merupakan turunan dari Pembukaan UUD 1945. Dalam hukum tata negara, pembukaan merupakan ideologi dan cita-cita besar yang hendak diwujudkan dalam konstitusi.

Karena itulah, kesempatan pertama dengan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali itu beralasan Pembukaan UUD 1945 mengacu pada teks proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Bung Karno. Saat itu, tim yang merumuskan konsep amendemen ingin mewujudkan Indonesia sebagai negara demokrasi. “Itulah kelanjutan dari proklamasi kebangsaan Indonesia,” ujarnya.

Dia mengakui ada kekurangan dalam sistem presidensial, sehingga perlu amendemen konstitusi. Seperti ciri-ciri dalam sistem presidensial, masa jabatan presiden bersifat pasti, hingga adanya alasan konstitusional presiden dapat dimakzulkan atau di-impeachment melalui MK dan akhirnya MPR yang memutuskan. Menurutnya, MK tak memiliki kewenangan “memecat” presiden karena presiden dipilih oleh rakyat, sehingga MPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait