Advokat Ini Jelaskan Maksud No Work No Pay UU Ketenagakerjaan
Terbaru

Advokat Ini Jelaskan Maksud No Work No Pay UU Ketenagakerjaan

Prinsipnya no work no pay sebagaimana diatur dalam Pasal 93 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah pekerja/buruh tidak masuk kerja karena kemauan sendiri, bukan perintah pengusaha.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi ketenagakerjaan
Ilustrasi ketenagakerjaan

Sebagian sektor industri di Indonesia telah merasakan dampak resesi global antara lain turunnya permintaan (order) dari pembeli di luar negeri. Turunnya permintaan itu menyebabkan produksi berkurang, sehingga ada sebagian pekerja yang tidak bekerja memproduksi barang seperti biasanya.

Langkah yang dilakukan pengusaha untuk menghadapi turunnya permintaan itu biasanya merumahkan pekerjanya. Kalangan pengusaha, yang tergabung dalam Apindo mengusulkan kepada pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Menteri tentang No Work No Pay. Tapi apakah mekanisme no work no pay itu bisa digunakan untuk pekerja/buruh yang dirumahkan?

Advokat yang fokus membidangi isu ketenagakerjaan, Juanda Pangaribuan, mengatakan asas no work no pay dalam Pasal 93 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikenal dengan istilah upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Dalam penjelasan ketentuan itu merupakan asas yang berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya.

Melihat ketentuan Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan itu, Juanda mengatakan aturan tersebut tidak berlaku bagi pekerja/buruh yang dirumahkan pengusaha. Bagi pekerja/buruh yang dirumahkan pengusaha, pada prinsipnya hubungan kerja belum putus, sehingga hak-hak normatif buruh seperti upah harus tetap dibayar.

Asas no work no pay itu menurut Juanda berlaku ketika pekerja/buruh tidak bekerja atas kemauan sendiri, bukan karena perintah atau kemauan pengusaha. Sekalipun buruh dirumahkan baik karena dikenakan sanksi atau tidak, buruh tetap mendapat upah. “Buruh yang tidak dibolehkan bekerja karena keinginan pengusaha, maka upah buruh wajib dibayar,” kata Hakim Ad Hoc PHI Jakarta periode 2006-2016 itu di sela-sela Diskusi Hukumonline 2022 bertema ”Tata Cara Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai dengan Peraturan di Indonesia”, Selasa (06/12/2022) kemarin.

Bagi perusahaan yang terdampak resesi global sehingga harus dilakukan upaya untuk menyelamatkan perusahaan, Juanda mengatakan bisa saja dilakukan pemotongan terhadap hak-hak normatif buruh. Tapi terlebih dulu harus dibicarakan dengan serikat buruh atau perwakilan buruh di tempat kerja.

Jika proses dialog itu sudah dijalankan, tetapi pihak buruh menolak maka perusahaan perlu melakukan pemotongan hak-hak normatif itu secara bijaksana. Misalnya, pemotongan itu dilakukan dalam jangka waktu tertentu, upah yang digunakan sebagai acuan untuk membayar iuran BPJS adalah upah sebelum pemotongan. Begitu juga untuk menghitung kompensasi jika ada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut Juanda, pelaksanaan no work no pay di setiap perusahaan berbeda karena kondisi yang dihadapi tidak sama. Jika Permenaker tentang No Work No Pay usulan Apindo dikabulkan pemerintah, jangan sampai beleid itu nanti dimanfaatkan oleh perusahaan yang kondisinya baik-baik saja atau tidak terdampak resesi global hanya untuk melegalkan pemotongan hak-hak normatif buruh seperti upah.

Pelaksanaan no work no pay dinilainya berpotensi menimbulkan perselisihan ketenagakerjaan antara buruh dan pengusaha. Ketimbang mengaturnya dalam Permenaker, Juanda mengusulkan pemerintah untuk memperkuat mediator agar mampu memediasi pengusaha yang terdampak resesi global dengan pekerjanya.

Tags:

Berita Terkait