Advokat Ini Usul Permohonan PKPU Hanya Boleh Diajukan Debitor
Terbaru

Advokat Ini Usul Permohonan PKPU Hanya Boleh Diajukan Debitor

Seharusnya hanya debitor yang bisa mengajukan PKPU karena karena sebagai pihak yang membayar utang. Kreditor pada prinsipnya berharap utang segera dibayar.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Managing Partner LDN Ernst Law Firm, Luhut Sagala. Foto: Reza
Managing Partner LDN Ernst Law Firm, Luhut Sagala. Foto: Reza

Kalangan pengusaha butuh kepastian hukum untuk mendukung kegiatan bisnis yang dijalankannya. Tapi tak sedikit regulasi yang menghambat pengusaha dalam berbisnis antara lain sebagian ketentuan yang diatur UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

 

Managing Partner LDN Ernst Law Firm, Luhut Sagala, mengatakan revisi UU 37/2004 penting untuk segera dilakukan. Sebab sebagian ketentuan dalam beleid itu dipandang mengganggu kegiatan berusaha. “Misalnya, PKPU itu seharusnya hanya bisa diajukan oleh debitur bukan kreditur, tapi sekarang di UU 37/2004 keduanya punya hak,” kata Luhut di Gedung Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) Semarang, Kamis (18/01/2024).

 

Advokat yang berkantor di Ibukota provinsi Jawa Tengah itu mengatakan secara logika PKPU adalah penundaan membayar utang. Sehingga tidak masuk logika jika kreditor yang meminta pembayaran utang ditunda. Biasanya kreditor meminta debitor segera menunaikan kewajiban membayar utang. Tapi UU 37/2004 memberi kesempatan kreditor mengajukan PKPU dengan tujuan agar debitor segera membayar utang.

 

Nah, secara nalar awam hal itu kan tidak masuk,” ujarnya.

 

Baca juga:

 

Selain itu Luhut mengusulkan pembatasan besaran nilai utang sebagai syarat kreditor mengajukan pailit atau PKPU. Misalnya, dibatasi jumlahnya minimal Rp1 milyar. Untuk besaran utang di bawah itu misalnya Rp500 juta lebih baik menggunakan mekanisme gugatan sederhana sehingga tidak melalui PKPU. Praktiknya, saat ini mekanisme gugatan sederhana itu tidak digunakan untuk mendesak debitor segera membayar utang. Hal itu ditengarai ada tujuan lain yang diharapkan oknum tertentu sehingga memberi keuntungan ekonomi.

 

Ada juga hal teknis yang perlu dibenahi dalam UU 37/2004, seperti masa insolvensi. Sagala mencatat UU 37/2004 tidak menentukan kapan masa insolvensi dimulai, sehingga menimbulkan perdebatan di ranah praktik. Padahal masa insolvensi itu penting bagi kreditor separatis karena sebagai peluang untuk menggunakan haknya melakukan eksekusi jaminan kebendaan. Ketidakjelasan masa insolvensi menyebabkan persoalan, di mana kurator menyebut belum masa insolvensi tapi kreditor pemegang hak kebendaan menyebut sudah masuk masa insolvensi.

 

Dari beberapa persoalan UU 37/2004 itu menurut Sagala memberikan dampak kepada kalangan pengusaha. Dia mencatat di masa pandemi Covid-19 dan setelahnya banyak permohonan pailit dan PKPU. Kalangan pengusaha menganggap banyaknya permohonan pailit dan PKPU itu mengganggu kelangsungan usaha mereka. Sebab pada praktiknya ketika suatu perusahaan dinyatakan pailit atau PKPU maka seluruh kegiatan usaha berhenti. Ujungnya, pengusaha makin kesulitan mencari pemasukan untuk membayar utang.

Tags:

Berita Terkait