Agenda Ratifikasi Statuta Roma Tak Boleh Berhenti
Berita

Agenda Ratifikasi Statuta Roma Tak Boleh Berhenti

Pemerintah harus konsisten menjalankan Rencana Aksi Nasioal Hak Asasi Manusia (RANHAM).

ADY
Bacaan 2 Menit
Agenda Ratifikasi Statuta Roma Tak Boleh Berhenti
Hukumonline

Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah menunjukan komitmennya untuk meratifikasi Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Pasalnya, pemerintah sudah berencana meratifikasi konvensi internasional itu tahun ini sebagaimana tertuang dalam RANHAM yang disahkan lewat Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2011.

Menurut anggota koalisi dari Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Mugiyanto, Koalisi terkejut mendengar pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan), Purnomo Yusgiantoro, yang mengatakan dia menolak meratifikasi.

Koalisi menilai pernyataan bertentangan dengan langkah maju yang telah dilakukan Kemenkumham dan Kemlu dalam rangka mempersiapkan ratifikasi. Misalnya menyusun naskah akademis dan RUU Pengesahan Ratifikasi, mengunjungi markas ICC di Belanda beberapa kali serta berbagai pernyataan resmi pemerintah di forum internasional untuk mendukung ICC. Oleh karenanya, Mugiyanto mengatakan tidak pada tempatnya Menhan mengeluarkan statement tersebut secara eksplisit kepada publik.

Pasalnya, ucapan itu dapat diartikan bahwa Menhan mengarahkan agar pemerintah tidak meratifikasi Statuta Roma. Sebagai kementerian yang membawahi sektor keamanan, Mugiyanto mengatakan sudah semestinya militer tunduk pada otoritas sipil. “Dalam hal ini Presiden dan kementerian lain menyatakan dukungan untuk meratifikasi dan itu sudah ada di RANHAM yang artinya mau diratifikasi. Tapi kenapa Menhan menolak,” katanya dalam media briefing di kantor Imparsial Jakarta, Kamis (23/5).

Selain itu Mugiyanto menyoroti argumentasi yang kerap dilontarkan pihak yang tak sepakat dengan ratifikasi Statuta Roma bahwa peraturan itu akan dikenakan kepada para petinggi militer masa Orde Baru. Menurutnya Statuta Roma, khususnya ICC tidak digunakan dalam rangka mengadili pelaku pelanggaran HAM masa lalu. Namun, lebih untuk mencegah agar segala bentuk tindak pelanggaran HAM yang terjadi masa itu tak berulang di kemudian hari. Oleh karena itu jika masih ada pihak yang tak setuju meratifikasi, Mugiyanto khawatir ke depan ada rencana kelompok tertentu untuk melakukan pelanggaran HAM masif seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Walau Indonesia sering dipandang sebagai negara yang gemar mempromosikan HAM di ranah internasional, namun masih tertinggal dengan negara tetangga di tingkat regional yang sudah meratifikasi ICC seperti Timor Leste, Kamboja, Filipina dan sebentar lagi disusul Malaysia. Mengacu RANHAM, Mugiyanto mengatakan tahun ini saat yang tepat pemerintah untuk mengajukan ratifikasi ke DPR karena tahun depan kegiatan pemerintahan mulai disibukan persiapan Pemilu. Begitu pula dengan DPR, koalisi mendorong agar parlemen segera meminta pemerintah untuk menyerahkan rancangan ratifikasi itu.

Pada kesempatan yang sama direktur operasional Imparsial, Bhatara Ibnureza, mengatakan sudah beberapa kali RANHAM diperbaharui, sebanyak itu pula pemerintah memasukan agenda untuk meratifikasi Statuta Roma. Merujuk hal tersebut Bhatara berpendapat pemerintah sudah memikirkan masak-masak sampai akhirnya ratifikasi menjadi rencana kerja pemerintah.

Selaras dengan itu Bhatara menyebut koalisi sudah melayangkan sejumlah produk dalam rangka mengupayakan agar Statuta Roma segera diratifikasi. Mulai dari naskah akademik, RUU, kumpulan tulisan dari berbagai keilmuan dan sebagainya. Salah satu hasil yang patut dicermati dari hasil kerja itu bahwa diratifikasinya Statuta Roma tak akan berdampak buruk untuk Indonesia di bidang apapun.

Atas dasar itu Bhatara berpendapat tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak meratifikasi Statuta Roma dengan segera. Bahkan kunjungan pemerintah ke markas ICC di Belanda dilakukan lebih dari sekali dengan membawa banyak romobongan. Bahkan, Bhatara mendengar dari berulang kali kunjungan itu ICC memberikan pernyataan bahwa Indonesia adalah negara yang melakukan kunjungan ke ICC yang paling sering dan memboyong delegasi paling banyak. Tapi, ICC heran kenapa ratifikasi tak mengalami kemajuan.

Sebagaimana pernyataan ICC itu Bhatara cemas bahwa pernyataan pemerintah di bermacam forum internasional untuk mendukung ICC hanya pencitraan semata. Begitu pula agenda ratifikasi sebagaimana tertulis dalam RANHAM. Padahal, selain mengumbar janji untuk meratifikasi, pemerintah juga berjanji bergabung dengan front internasional dan nasional melawan impunitas. Namun, sampai sekarang Bhatara belum melihat keseriusan pemerintah mewujudkan itu.

Ketika Statuta Roma untuk ICC itu diratifikasi, Bhatara mengatakan Indonesia punya keuntungan yang sangat strategis di tingkat internasional. Contohnya, keanggotaan ICC di kawasan Asia Pasifik adalah terendah dengan bergabungnya Indonesia maka menambah kekuatan baru ICC di regional itu. Serta mengharumkan nama baik Indonesia di bidang HAM karena dapat bertindak aktif mencegah terjadinya tindak pelanggaran HAM.

Misalnya, Bhatara melanjutkan, Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina atas agresi yang selama ini dilakukan Israel. Menurutnya, Indonesia tak mampu berbuat banyak ketika tak meratifikasi Statuta Roma. Akan lain ceritanya jika Indonesia sudah meratifikasi karena Israel berpotensi untuk dihukum lewat mekanisme ICC. “Jadi ratifikasi ini adalah riil karena ada upaya hukum pidana internasional yang bisa digunakan Indonesia,” tegasnya.

Ratifikasi itu menurut Bhatara dapat pula dijadikan parameter bahwa pemerintah dan DPR telah konsisten menjalankan amanat konstitusi. Pasalnya, konstitusi memerintahkan agar pemerintah menjaga perdamaian dunia. Bhatara mengakui selama ini pemerintah aktif mengirim pasukan perdamaian PBB, namun hal itu tidak cukup tanpa ICC. Ia menjelaskan bahwa ICC merupakan perangkat hukum yang dapat digunakan untuk menjaga perdamaian dunia karena dapat menghukum pihak yang melanggar HAM.

Sedangkan anggota koalisi dari Elsam, Zainal Abidin, mengatakan pernyataan Menhan itu menegaskan rumor yang selama ini beredar kalau Kementerian Pertahanan menolak ratifikasi Stauta Roma. Melihat adanya perbedaan pandangan antar Kementerian ini Zainal mengimbau agar Presiden SBY turun tangan. Pasalnya, RANHAM disetujui dan disahkan oleh Presiden selaku pemimpin pemerintahan. Sehingga terimplementasi atau tidaknya RANHAM itu merupakan tanggungjawab Presiden. Ia berharap Presiden segera memberi arahan kepada Kemhan untuk mengacu apa yang ditetapkan dalam RANHAM.

Mengingat masa kepemimpinan Presiden berakhir sebentar lagi, Zainal berharap pada masa pemerintahan sekarang ini ada catatan baik dalam rangka penegakan dan pemenuhan HAM. Jika dibandingkan dengan para Presiden yang memimpin pemerintahan sejak reformasi, di bidang HAM Zainal menilai SBY jauh tertinggal. Misalnya, di masa Presiden Habibie, Komnas Perempuan dibentuk, Komnas HAM diperkuat dengan diterbitkannya beberapa UU.

Progres penguatan HAM juga berlangsung pada pemerintahan di bawah kepemimpinan Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Untuk mengejar prestasi Presiden terdahulu, Zainal menyarankan agar SBY segera meratifikasi Statuta Roma. “Presiden ketika bersumpah kan menyebut menjalankan konstitusi. Salah satu amanat adalah menjaga perdamaian dunia, salah satu alat menjaga perdamaian dunia itu ICC (Statuta Roma,-red),” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait