Ahli Sarankan UU Migas Dicabut
Berita

Ahli Sarankan UU Migas Dicabut

BP Migas dilebur ke dalam Pertamina untuk sektor hulu, dan dilebur ke Ditjen Migas untuk sektor hilir.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Majelis Mahkamah Konstitusi saat pengujian UU Migas. Foto: ilustrasi (Sgp)
Majelis Mahkamah Konstitusi saat pengujian UU Migas. Foto: ilustrasi (Sgp)

Ahli Hukum Perminyakan Kurtubi meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar seluruh pasal dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dicabut.

“Menurut saya seluruh pasal dalam UU Migas harus dicabut karena jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi dan merugikan negara secara finansial,” kata Kurtubi saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam pengujian UU Migas yang dimohonkan sejumlah tokoh dan ormas di Gedung MK, Rabu (06/6).

Kurtubi mencontohkan Pasal 1 angka 23 jo Pasal 4 yang menyebutkan pengelolaan Migas ini diserahkan ke Badan Pelaksana Migas (BP Migas) merupakan wakil pemerintah untuk menandatangani kontrak dengan kontraktor minyak. Sebab, konsekwensi Migas milik negara yang berasal dari perusahaan asing tidak dapat dijual sendiri oleh BP migas, harus melibatkan pihak ketiga. “Di sini pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang berkontrak. Status pemerintah ‘diturunkan’, yang mengakibatkan kedaulatan kita hilang dan sangat merugikan negara. Ini melanggar konstitusi,” kata Kurtubi.

Kondisi ini secara teknis berpengaruh pada sistem kontrak kerja antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing yang tidak menjamin adanya kedaulatan konstitusi. Lalu, kata Kurtubi, ada pasal dalam UU migas ini yang menyatakan perusahaan Migas harus dikelola secara terpisah antara bidang usaha hulu dan hilir. Padahal amanat Pasal 33 UUD 1945 minyak bumi dan gas dikuasai negara. “Ini berarti konstitusi menyatakan pengelolaan Migas harus dikelola secara terintegrasi antara hulu dan hilir,” kata ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.

Selain itu, sistem cost recovery (biaya produksi) yang dikelola BP Migas dalam UU Migas tidak jelas. Sebab, BP Migas yang bukan lembaga bisnis/perusahaan minyak, tidak tahu berapa kisaran biaya yang harus dikembalikan untuk mengganti biaya produksi yang sebenarnya.

Ironisnya, UU Migas tidak menyebutkan struktur organisasi BP Migas, seperti harus ada dewan komisaris atau majelis wali amanat, tetapi ada tenaga teknis. “Ini didesain agar pengelolaan cost recovery tidak sejalan dengan good corporate governance. Ini berpotensi terjadinya mark up (penggelembungan) biaya yang luar biasa besar di situ,” katanya.

Karena itu, Kurtubi menyarankan agar sektor hulu, BP migas dibubarkan, dilikudasi (dilebur) ke dalam Pertamina agar sistem pengelolaannya menjadi sederhana. “Di sisi hilir, kita imbau BP Migas dilikuidasi ke dalam Ditjen Migas, sehingga ini nanti BBM sudah bisa dikurangi subsidinya, BP Migas tidak dibutuhkan lagi.” 

Tags: