Pemerintah terus mendorong pelaksanaan reformasi di bidang hukum. Antara lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) menerbitkan Keputusan Menkopolhukam No.63 Tahun 2023 tentang Tim Percepatan Reformasi Hukum. Berangotakan dari berbagai ahli, praktisi dan akademisi, tim itu fokus menyorot persoalan hukum.
Beleid yang terbit 23 Mei 2023 itu menugaskan tim merancang strategi dan agenda prioritas terhadap 4 isu utama. Yakni Reformasi Lembaga Peradilan dan Penegakan Hukum; Penegakan Hukum Sektor Agraria dan Sumber Daya Alam; Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; dan Reformasi Sektor Peraturan Perundang-Undangan.
Salah satu anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum dari kelompok kerja (Pokja) Reformasi Lembaga Peradilan dan Penegakan Hukum, Ahmad Fikri Assegaf, mengatakan secara umum tim masih melakukan finalisasi. Sejak bekerja awal Juni 2023 hasil kerja tim rencananya akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Kendati waktu yang diberikan sangat singkat yakni 3 bulan, tapi tim harus menuntaskan tugasnya dan menghasilkan rencana aksi.
“Tapi karena kecintaan kita pada negara dan harapan besar bahwa masalah hukum ini agar bisa diperhatikan maka kami bekerja dengan segala kemampuan yang dimiliki,” ujarnya dalam diskusi bertema “Hadirnya Negara untuk Menjamin Keadilan Bagi Masyarakat Melalui Penegakan Supremasi Hukum” Rabu (13/9/2023) kemarin.
Baca juga:
- Tim Percepatan Reformasi Hukum Akan Kedepankan Partisipasi Publik
- Tim Percepatan Reformasi Hukum, Anggotanya Mulai Jurnalis Hingga Advokat
Ada banyak masalah yang dihadapi di sektor lembaga peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Dari berbagai persoalan yang ada, Fikri menyebut Pokja menyoroti sedikitnya 6 isu utama. Pertama, sumber daya manusia (SDM) perlu dibenahi. Sebab tanpa SDM yang baik, apapun solusi yang diberikan pasti akan mandek.
Proses seleksi pada lembaga penegak hukum masih bermasalah karena minim integritas. Padahal seleksi yang berintegritas penting untuk menjaring orang berkualitas sehingga memberi dampak positif terhadap organisasi. Kemudian perlu pembinaan karir yang jelas dan kompensasi yang bagus.
Kedua, pengawasan baik internal dan eksternal. Menurut Fikri pengawas internal di lembaga penegakan hukum seperti kejaksaan dan kepolisian belum diisi oleh orang yang terbaik. Padahal pengawas internal ini sangat berperan penting memastikan integritas lembaga, memastikan setiap bagian organisasi melakukan kerja secara baik.
Pengawas eksternal ada Komisi Yudisial (KY), tapi anggaran yang tersedia tidak sebanding dengan beban kerja yang harus dilakukan. Walhasil, KY mengalami kesulitan untuk merekrut dan mempertahankan SDM yang berkualitas terbaik. Hal serupa juga dialami lembaga pengawas eksternal lainnya seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak).
Ketiga, kelembagaan. Fikri menyebut, Pokja menyorot kelembagaan bidang hukum tidak pernah diperhatikan serius. Misalnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), anggaran yang digunakan sebagian besar untuk mengurusi bidang pemasyarakatan, keimigrasian, dan kesekjenan. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berperan penting dalam pembangunan hukum hanya mendapat porsi anggaran sedikit. Begitu pula Direktrorat Jenderal (Ditjen) Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham.
Keempat, hukum materil dan formil. Fikri melihat tidak ada kemajuan yang berarti terkait produk perundang-undangan sejak reformasi. Misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang sampai sekarang belum direvisi. Padahal KUHPer menjadi acuan dalam pelaksanaan hukum perdata. Selama ini salah satu persoalan yang dihadapi adalah putusan peradilan perdata sulit untuk dijalankan. Malah, pihak yang menang harus berkoordinasi sendiri sampai harus ‘menyogok’ agar haknya bisa berjalan.
“KUHPer sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman tapi kenapa masalah ini didiamkan,” ujar pendiri kantor hukum Assegaf, Hamzah, & Partner itu.
Kelima, budaya hukum dan organisasi. Pokja melihat tren lembaga penegak hukum beberapa waktu terakhir ini cenderung militeristik. Misalnya pimpinan lembaga menggunakan tongkat komando seperti layaknya pimpinan militer. Penegak hukum itu harus bebas agar bisa bekerja dengan baik. Budaya hukum juga bermasalah karena ketidakpatuhan masyarakat dan pemerintah terhadap putusan pengadilan. Jika pemerintah dan BUMN tidak mau menjalankan putusan pengadilan, jangan harap masyarakat punya budaya taat hukum.
“Saya paham ada kekhawatiran, justru kalau ada putusan inkracht kecuali ditemukan fraud dibelakangnya maka harus dipatuhi. Ini pahit tapi langkah ini harus mulai diambil, karena tidak bisa masyarakat umum menjalankan putusan pengadilan kalau pemerintah sendiri tidak mau melakukan itu,” imbuhnya.
Keenam, kebijakan anggaran, Pokja berkesimpulan hal ini menjadi salah satu sumber utama dari munculnya budaya koruptif. Fikri memberikan contoh anggaran untuk biaya penyidikan kejaksaan dan kepolisian saat ini sudah dipastikan tidak akan cukup. Akibatnya, muncul ekses negatif yang mendorong untuk mencari sumber pendanaan lain. Hal itu kemudian menjadi justifikasi dengan dalih anggaran yang ada tidak cukup.
Oleh karena itu anggaran harus diberikan secara realistis. Seperti KPK pada masa sebelumnya, dimana ada kompensasi yang bersifat lumsum, walaupun tidak ada tunjangan kinerja tapi yang diterima itu sudah cukup. Bisa dilihat dari para penyidik KPK yang berasal dari kejaksaan dan kepolisian bisa bekerja dengan baik.
Upaya pembaharuan bersama
Pada kesempatan yang sama mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), Prof Bagir Manan mengatakan masalah yang dihadapi bidang hukum di Indonesia sangat besar dan membenahinya tak seperti membalikkan telapak tangan. Tapi sangat penting memiliki semangat untuk melakukan perbaikan karena sebagai salah satu bentuk integritas dan etika untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Pada saat memulai reformasi peradilan di MA, Prof Bagir menyebut para hakim agung kala itu memiliki hasrat untuk melakukan perbaikan. Tapi pembenahan di lingkungan peradilan itu tak bisa dilakukan sendirian oleh MA. Perlu dukungan banyak pihak untuk mendorong proses pembaharuan di MA. Bahkan ketika itu MA berani mengambil terobosan untuk melibatkan organisasi masyarakat sipil guna membantu proses pembaharuan tersebut.
“Mereka mau membantu membenahi peradilan dan tidak pernah minta uang (bayaran,-red),” ujarnya.
Lembaga hukum non pemerintahan menurut mantan Ketua Dewan Pers itu juga banyak yang membantu MA membenahi peradilan seperti organisasi advokat dan lembaga dari luar negeri. Berbagai bentuk bantuan yang diberikan seperti pelatihan, dan beragam fasilitas. Tak kalah penting pemerintah juga memberi dukungan antara lain Kementerian Keuangan sangat mendukung peningkatan anggaran MA, begitu juga Komisi III DPR.
“Maka kalau mau perubahan jangan berpikir kita bisa kerjakan semuanya sendiri,” pungkasnya.