Akademisi Beberkan Indikasi Motif Politik Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto
Utama

Akademisi Beberkan Indikasi Motif Politik Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto

Keputusan pencopotan hakim konstitusi Aswanto dilakukan dalam rapat paripurna DPR 29 September 2022. Pada tanggal yang sama, DPR melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo soal RUU usul insiatif DPR yang akan merevisi lagi UU MK yang memasukkan klausul pasal tentang evaluasi hakim konstitusi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

“Bisa jadi ada hakim yang khawatir dicopot dari jabatannya karena putusannya. Pada dasarnya esensi kekuasaan kehakiman menjaga agar tidak ada hakim yang mendapat ancaman seperti itu. Semua hakim harus dilindungi terlepas dari apapun putusannya.”

Ia mengingatkan hakim termasuk jabatan publik, oleh karena itu wajib diawasi. Tapi pengawasannya tidak boleh membuatnya merasa terancam dalam membuat putusan. Begitu pula tidak boleh ada “hadiah” politik yang bisa membuat hakim terlalu nyaman, sehingga bisa mempengaruhi putusannya karena ada motif hadiah itu.

Hakim harus diawasi perilakunya dengan batasan etik dan hukum. Bivitri menyebut ada berbagai prinsip perilaku yang dibangun secara universal seperti Bangalore Principles of the Judicial Conduct. “Hakim tidak boleh dinilai (yang mempengaruhi masa jabatannya) dari isi putusannya,” imbuhnya.

Suap konstitusional

Dalam kesempatan yang sama, Akademisi Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar melihat belakangan ini MK mudah menerima “sogokan” atau suap konstitusional yang diberikan DPR. Misalnya, mengatur perpanjangan usia hakim MK secara eksklusif. Sebelumnya masa jabatan hakim MK 5 tahun. Kemudian bisa dipilih lagi 5 tahun berikutnya, sehingga dibatasi 2 periode dan prosesnya melalui mekanisme pemilihan.

Tapi, melalui revisi UU MK yang ketiga di tahun 2020, DPR mengubah ketentuan itu dengan mengatur masa jabatan hakim MK langsung sampai usia 70 tahun atau jika belum mencapai usia 55, maka mengikuti mekanisme 15 tahun di MK. “Ini suap konstitusional yang membuat hakim terasa nyaman dan mendapat hadiah dan itu terlarang,” kritik Zainal.

Menurut Zainal, memberikan “hadiah” kepada hakim MK itu tidak dilakukan secara gratis. Semua itu terkait dengan peristiwa yang terjadi saat ini salah satunya pencopotan Prof Aswanto sebagai hakim konstitusi. Walaupun putusan MK belakangan ini terkesan biasa saja dan datar atau tidak berlawanan dengan keinginan DPR. Tapi yang paling menarik adalah putusan MK terhadap permohonan uji formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Zainal yakin putusan UU Cipta Kerja menjadi salah satu alasan kuat bagi DPR untuk mencopot Prof Aswanto di tengah jalan. Tapi yang berkepentingan terhadap UU Cipta Kerja tak hanya DPR, tapi juga Presiden. Beberapa bulan sebelum pencopotan itu ada wacana tentang bisakah Presiden menarik hakim konstitusi dengan alasan hak prerogatif?

“Jadi ini adalah geliat politik, tidak bisa dimaknai sebagai terobosan atau konsep hukum,” ujarnya.

Zainal mengingatkan posisi DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung hanya sebagai lembaga pengusul calon hakim konstitusi. Mekanisme pengusulan hakim MK dari masing-masing cabang kekuasan negara itu mengadopsi dari praktik di Korea Selatan. Hak prerogatif itu jika sepenuhnya dimiliki lembaga tersebut misalnya Presiden, DPR, atau Mahkamah Agung.

“DPR, Presiden, dan MA itu sebagai lembaga pengusul. Keliru besar jika itu dimaknai sebagai hak prerogatif,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait