Akademisi Beberkan Indikasi Motif Politik Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto
Utama

Akademisi Beberkan Indikasi Motif Politik Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto

Keputusan pencopotan hakim konstitusi Aswanto dilakukan dalam rapat paripurna DPR 29 September 2022. Pada tanggal yang sama, DPR melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo soal RUU usul insiatif DPR yang akan merevisi lagi UU MK yang memasukkan klausul pasal tentang evaluasi hakim konstitusi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dalam diskusi bertema 'Membaca Kembali Urgensi Kemandirian MK sebagai Penjaga Konstitusi Pasca Pemberhentian Hakim Konstitusi oleh DPR', Selasa (8/11/2022). Foto: ADY
Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dalam diskusi bertema 'Membaca Kembali Urgensi Kemandirian MK sebagai Penjaga Konstitusi Pasca Pemberhentian Hakim Konstitusi oleh DPR', Selasa (8/11/2022). Foto: ADY

Pencopotan hakim konstitusi Prof Aswanto oleh DPR terus menuai keprihatinan dari berbagai pihak, antara lain kalangan akademisi. Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, terkejut dan geram dengan alasan DPR yang menyebut seolah pencopotan itu sebagai bentuk penghukuman kepada hakim konstitusi yang bersangkutan karena menganulir produk DPR (UU). Menurutnya, Tindakan seperti itu merusak kemandirian kekuasaan kehakiman.

“Kemandirian kekuasaan yudikatif (kehakiman) itu penting dalam negara hukum,” kata Bivitri dalam diskusi bertema “Membaca Kembali Urgensi Kemandirian MK sebagai Penjaga Konstitusi Pasca Pemberhentian Hakim Konstitusi oleh DPR”, Selasa (8/11/2022).

Mengacu UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK yang baru direvisi, Bivitri mencatat masa jabatan Hakim Konstitusi Prof Aswanto seharusnya sampai Maret 2029. Tapi ternyata DPR tidak menggunakan beleid yang sebelumnya telah direvisi itu sebagai acuan, dan tetap mencopot Aswanto dalam sidang paripurna yang digelar 29 September 2022 lalu.

Baca Juga:

Bivitri menilai ada motif politik dalam pencopotan hakim tersebut. Hal itu terlihat dari tanggal dimana sidang paripurna digelar untuk mencopot Aswanto. Pada waktu yang sama, DPR melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo yang intinya menjelaskan ada RUU usul inisiatif DPR yang akan merevisi lagi UU MK. Poin utama dari revisi UU MK yang akan dilakukan DPR menyasar soal evaluasi di tengah masa jabatan.

“Jadi dengan aturan evaluasi itu hakim MK bisa dicopot di tengah masa jabatan,” bebernya.

Ia melanjutkan batas waktu bagi Presiden Jokowi untuk menjawab surat yang dilayangkan DPR itu 60 hari yakni 2 Desember 2022. Bivitri berpendapat tujuan revisi UU MK keempat kalinya ke depan sangat jelas yakni mengutak-atik MK. Indikasi tersebut bertambah jelas proses pencopotan Prof Aswanto sebagai hakim MK motifnya politik.

Menurut Bivitri, hal ini bukan sekedar membela MK atau tidak, tapi persoalan ini lebih mendasar. Ia menyadari perilaku hakim boleh diawasi, tapi dia tidak boleh terancam karena putusan yang dibuatnya. Dampak dari keputusan politik DPR yang ugal-ugalan ini tak hanya mengancam Aswanto, tapi juga semua hakim konstitusi.

“Bisa jadi ada hakim yang khawatir dicopot dari jabatannya karena putusannya. Pada dasarnya esensi kekuasaan kehakiman menjaga agar tidak ada hakim yang mendapat ancaman seperti itu. Semua hakim harus dilindungi terlepas dari apapun putusannya.”

Ia mengingatkan hakim termasuk jabatan publik, oleh karena itu wajib diawasi. Tapi pengawasannya tidak boleh membuatnya merasa terancam dalam membuat putusan. Begitu pula tidak boleh ada “hadiah” politik yang bisa membuat hakim terlalu nyaman, sehingga bisa mempengaruhi putusannya karena ada motif hadiah itu.

Hakim harus diawasi perilakunya dengan batasan etik dan hukum. Bivitri menyebut ada berbagai prinsip perilaku yang dibangun secara universal seperti Bangalore Principles of the Judicial Conduct. “Hakim tidak boleh dinilai (yang mempengaruhi masa jabatannya) dari isi putusannya,” imbuhnya.

Suap konstitusional

Dalam kesempatan yang sama, Akademisi Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar melihat belakangan ini MK mudah menerima “sogokan” atau suap konstitusional yang diberikan DPR. Misalnya, mengatur perpanjangan usia hakim MK secara eksklusif. Sebelumnya masa jabatan hakim MK 5 tahun. Kemudian bisa dipilih lagi 5 tahun berikutnya, sehingga dibatasi 2 periode dan prosesnya melalui mekanisme pemilihan.

Tapi, melalui revisi UU MK yang ketiga di tahun 2020, DPR mengubah ketentuan itu dengan mengatur masa jabatan hakim MK langsung sampai usia 70 tahun atau jika belum mencapai usia 55, maka mengikuti mekanisme 15 tahun di MK. “Ini suap konstitusional yang membuat hakim terasa nyaman dan mendapat hadiah dan itu terlarang,” kritik Zainal.

Menurut Zainal, memberikan “hadiah” kepada hakim MK itu tidak dilakukan secara gratis. Semua itu terkait dengan peristiwa yang terjadi saat ini salah satunya pencopotan Prof Aswanto sebagai hakim konstitusi. Walaupun putusan MK belakangan ini terkesan biasa saja dan datar atau tidak berlawanan dengan keinginan DPR. Tapi yang paling menarik adalah putusan MK terhadap permohonan uji formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Zainal yakin putusan UU Cipta Kerja menjadi salah satu alasan kuat bagi DPR untuk mencopot Prof Aswanto di tengah jalan. Tapi yang berkepentingan terhadap UU Cipta Kerja tak hanya DPR, tapi juga Presiden. Beberapa bulan sebelum pencopotan itu ada wacana tentang bisakah Presiden menarik hakim konstitusi dengan alasan hak prerogatif?

“Jadi ini adalah geliat politik, tidak bisa dimaknai sebagai terobosan atau konsep hukum,” ujarnya.

Zainal mengingatkan posisi DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung hanya sebagai lembaga pengusul calon hakim konstitusi. Mekanisme pengusulan hakim MK dari masing-masing cabang kekuasan negara itu mengadopsi dari praktik di Korea Selatan. Hak prerogatif itu jika sepenuhnya dimiliki lembaga tersebut misalnya Presiden, DPR, atau Mahkamah Agung.

“DPR, Presiden, dan MA itu sebagai lembaga pengusul. Keliru besar jika itu dimaknai sebagai hak prerogatif,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait