Komisi III DPR telah menggantikan Aswanto dari jabatan hakim konstitusi dengan Guntur Hamzah. Pergantian ini sontak memicu penolakan dari sejumlah pihak, salah satunya Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Dalam keterangannya yang diterima Hukumonline, Sabtu (1/10), PSHK menduga sebagai salah satu cara untuk memuluskan produk undang-undang bermasalah di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Adanya “jatah” DPR dalam mengusulkan Hakim Konstitusi bukan berarti hakim yang diusulkan tersebut menjadi hakim yang membela kepentingan DPR. Melainkan hal itu adalah untuk menjaga netralitas Mahkamah agar tidak dapat diintervensi oleh salah satu cabang kekuasaan,” tulis PSHK dalam siaran persnya.
PSHK juga menilai, pemberhentian ini adalah bentuk pelanggaran hukum dan merusak independensi peradilan. Secara normatif, pemberhentian ini cacat karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan. Pasca perubahan ketiga UU MK menjadi UU No. 7 tahun 2020, Pasal 87 menyebutkan bahwa hakim konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut UU ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
“Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Dalam konteks, masa jabatan Aswanto, maka seharusnya akhir masa tugas beliau pada 21 Maret 2029 atau setidak-tidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun,” tulis PSHK.
Baca juga:
- Pemaksaan Pergantian Hakim Konstitusi, Bentuk Pembangkangan Konstitusi
- Mempertanyakan Revisi Keempat UU MK Jelang Tahun Politik
- Menguji Integritas Hakim Konstitusi di Pengujian Formil UU MK
Dari segi prosedur DPR, pemberhentian ini janggal karena Sidang Paripurna dilakukan tanpa proses yang terjadwal dan tidak diketahui publik. Jika publik membiarkan proses ini begitu saja, akan tercipta kesan bahwa DPR berkontribusi meruntuhkan independensi peradilan . Salah satu esensi dari independensi peradilan adalah masa jabatan hakim yang tetap dan lepas dari campur tangan lembaga lain.
Selain itu, pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan hukum, sebab yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tercela, melanggar hukum, etik atau melanggar sumpah jabatan hakim konstitusi sebagaimana ketentuan pemberhentian dalam Pasal 23 UU MK. Alasan yang dikemukakan oleh Komisi III DPR hanya karena yang bersangkutan membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh DPR.