Akademisi FH UGM Ini Beberkan 5 Indikator Negara Gagal
Terbaru

Akademisi FH UGM Ini Beberkan 5 Indikator Negara Gagal

Salah satunya ketika pengusaha dan penguasa bekerja dalam jalinan kebijakan yang sama. Sehingga tidak bisa dibedakan kapan dia menjadi penguasa dan pengusaha.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen FH UGM Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi bertema 'Potret Pembungkaman Kritik dan Praktik Kriminalisasi di Indonesia', Rabu (2/8/2023). Foto: ADY
Dosen FH UGM Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi bertema 'Potret Pembungkaman Kritik dan Praktik Kriminalisasi di Indonesia', Rabu (2/8/2023). Foto: ADY

Banyak pakar dan hasil penelitian yang menunjukkan demokrasi dan HAM di Indonesia mengalami kemunduran. Salah satu indikatornya adalah menyempitnya kebebasan sipil. Masyarakat sipil yang menjalankan hak berpendapat, berekspresi dan berkumpul yang tujuannya mengkritik kebijakan penguasa rentan dikriminalisasi.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengingatkan buku yang ditulis Daron Acemoglu berjudul Kenapa Negara Gagal menguraikan berbagai penyebab negara gagal. Zainal menyebut penafsiran yang digunakan penulis buku mengggunakan pendekatan sosiologis, antropologis, dan historis.

Dalam buku itu disebut negara yang kaya Sumber Daya Alam (SDA) menjadi negara gagal karena alih-alih membangun sistem, tapi malah yang terjadi negara bersalin rupa jadi pemburu rente. “Biasanya aparat negaranya sekaligus menjadi pemain. Istilahnya itu penguasa sekaligus pengusaha,” kata Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi bertema "Potret Pembungkaman Kritik dan Praktik Kriminalisasi di Indonesia", Rabu (2/8/2023).

Baca Juga:

Pria yang disapa Uceng itu melanjutkan mengacu pandangan tersebut setidaknya ada 5 indikator negara gagal. Pertama, penguasa dan pengusaha bekerja dalam satu jalinan kebijakan yang sama. Akhirnya, tidak bisa dibedakan kapan posisinya sebagai penguasa dan pengusaha.

Kedua, standar demokrasi salah satunya tata kelola pemerintahan yang baik dimana tidak boleh ada keputusan pemerintah yang dibuat tanpa melibatkan masyarakat. Misalnya, dalam pembentukan UU dan peraturan ada istilah partisipasi bermakna, serap aspirasi, sosialisasi, dan transparansi. Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir pengambilan kebijakan tak jarang dilakukan secara tertutup dan minim keterbukaan informasi.

Ketiga, proses penegakan hukum yang tidak berimbang. Uceng menyebut ini masalah besar lembaga penegak hukum dimana setiap orang tidak diperlakukan sama di hadapan hukum. Misalnya, ketika masyarakat diteror aplikasi penipuan, tapi tidak mendapat respons yang baik ketika melapor ke polisi. Tapi ketika yang Kapolda yang mengalami peristiwa itu secara cepat pelakunya langsung ditangkap.

“Ini bentuk setiap orang tidak diperlakukan sama di hadapan hukum (diskriminatif, red),” ujarnya.

Uceng berpendapat selama kepentingannya tidak sesuai dengan kemauan penguasa, maka isu yang diusung masyarakat sipil dianggap tidak penting. Hal itu terbukti dari berbagai protes yang disampaikan kalangan masyarakat sipil, tapi tidak dianggap penting penguasa (pemerintah dan DPR).

Tags:

Berita Terkait