Akademisi Ini Beberkan 3 Kejanggalan Perppu Cipta Kerja
Utama

Akademisi Ini Beberkan 3 Kejanggalan Perppu Cipta Kerja

Antara lain alasan diterbitkannya Perppu tidak jelas antara melakukan perbaikan atau mengganti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Dosen FH Universitas Andalas Feri Amsari dalam dalam diskusi ALSA Indonesia Legal Discussion #2 bertema 'Penerbitan Perppu Cipta Kerja: Antara Urgensi dan Legalitas', Senin (30/1/2023). Foto: ADY
Dosen FH Universitas Andalas Feri Amsari dalam dalam diskusi ALSA Indonesia Legal Discussion #2 bertema 'Penerbitan Perppu Cipta Kerja: Antara Urgensi dan Legalitas', Senin (30/1/2023). Foto: ADY

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terus menjadi sorotan kalangan masyarakat sipil. Sejumlah pihak juga telah mengajukan permohonan pengujian Perppu tersebut ke MK. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pada prinsipnya Perppu dibutuhkan dalam kondisi yang mendesak. Presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan Perppu, sehingga sifatnya subjektif.

Untuk itu, dibutuhkan objektivitas dari lembaga lain terhadap subjektivitas Presiden itu. Tapi prinsip subjektivitas dan objektivitas Perppu itu menurut Feri telah dirusak melalui terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022. Sebab, lembaga yang diminta untuk menilai secara objektif Perppu itu adalah lembaga yang mengusulkan terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yakni DPR. Padahal isi dari Perppu sebagian besar ketenttuan UU No.11 Tahun 2020.

“Jadi soal subjektivitas dan objektivitas ini dirusak Perppu Cipta Kerja,” kata Feri dalam diskusi ALSA Indonesia Legal Discussion #2 bertema “Penerbitan Perppu Cipta Kerja: Antara Urgensi dan Legalitas”, Senin (30/1/2023) kemarin.

Baca Juga:

Feri tidak yakin proses penerbitan Perppu No.2 Tahun 2022 dilakukan sesuai standar sesuai putusan MK. Misalnya, Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 memberi 3 pedoman pembentukan Perppu. Pertama, tidak ada aturan yang bisa digunakan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Kedua, tidak cukup waktu untuk membentuk aturan sesuai prosedur legislasi, seperti biasanya. Ketiga, harus ada keadaan yang nyata untuk menjadi alasan diterbitkan Perppu. “Terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 ini terkesan dipaksakan. Bukan karena ihwal kegentingan memaksa, tapi kepentingan yang memaksa lahirnya Perppu,” ujarnya.

Feri mencatat sedikitnya ada 3 kejanggalan Perppu No.2 Tahun 2022. Pertama, jika Perppu ini diterbitkan untuk kegentingan memaksa, tapi kenapa isi pasalnya ratusan dengan jumlah halaman sampai ribuan. Seharusnya dalam kegentingan yang memaksa, tidak ada waktu untuk membuat banyak pasal. Setidaknya yang masuk dalam Perppu adalah pasal-pasal penting saja yang langsung menyasar pokok masalah.

“Bagaimana mungkin dalam keadaan mendesak, tapi bisa membuat ratusan pasal,” kritiknya.

Kedua, konsideran menimbang Perppu No.2 Tahun 2022 menyebut antara lain terbitnya Perppu untuk melaksanakan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2O2O, sehingga perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap UU No.11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. Feri bingung sejak kapan Perppu ditujukan untuk memperbaiki UU. Hal itu jelas mengabaikan proses pembentukan peraturan perundang-undangan baik asas materil dan formil.

“Lucu, Perppu disebut bagian dari perbaikan UU, bukankah tujuan terbitnya Perppu karena ihwal kegentingan memaksa?”

Ketiga, kendati menyebut sebagai upaya memperbaiki UU No.11 Tahun 2020, tapi Feri melihat bagian penutup menyatakan Perppu mencabut UU No.11 Tahun 2020. Hal itu membuat alasan terbitnya Perppu semakin tidak jelas apakah ingin memperbaiki atau mencabut UU No.11 Tahun 2020. Sekalipun UU No.11 Tahun 2020 dinyatakan dicabut, tapi Perppu menegaskan peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 sebagai peraturan pelaksana Perppu.

“Ini bukti jelas Perppu No.2 Tahun 2022 merupakan ‘salinan’ dari UU No.11 Tahun 2020,” bebernya.

Feri menilai janggal menggunakan Perppu untuk membenahi UU. Alasan yang digunakan sebagai landasan terbitnya Perppu memberikan kesan dibuat-buat hanya untuk membenarkan argumentasi yang salah.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan sebagaimana konsideran menimbang Perppu sangat jelas tujuannya untuk kepentingan investasi. Sama seperti UU No.11 Tahun 2020 yang sejak awal penyusunannya melalui Satgas yang dipimpin Ketua Kadin. Berbagai kebijakan yang diterbitkan Presiden Jokowi sejak awal terpilih menjadi Presiden juga sudah jelas arahnya memberi karpet merah untuk investor.

Menurut Isnur, hukum selama ini hanya digunakan sebagai legalitas, bukan mengedepankan prinsip negara hukum, tapi dipakai untuk mendukung kepentingan kekuasaan. Ia melihat Perppu No.2 Tahun 2022 bukan yang pertama diterbitkan Presiden Jokowi, sebelumnya pernah terbit beberapa Perppu seperti Perppu No.1 Tahun 2022 tentang Pemilu dan Perppu “Kebiri” yang tertuang dalam Perppu Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

“Jadi hukum hanya untuk melegitimasi keinginan kekuasaan,” imbuhnya.

Sebelumnya, Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi menerangkan Perppu Cipta Kerja merupakan tindak lanjut dari putusan MK tersebut. Dia menyampakan telah ditetapkan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur metode omnibus law dalam pembentukan UU.

Pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja juga untuk mengantisipasi ancaman resesi global pada 2023. Dengan kata lain, terdapat tiga aspek genting yang memaksa terbitnya Perppu Cipta Kerja yaitu Putusan MK, kebutuhan nasional dan ancaman resesi global.

Presiden telah menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022. Perppu Cipta Kerja sebagai pelaksanaan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan formil pembentukannya. Elen memaparkan isi Perppu Cipta Kerja secara umum sama dengan isi UU Cipta Kerja, namun ada beberapa perubahan isi yang menyangkut:

a. Ketenagakerjaan

b. Jaminan Produk Halal (Sertifikat Halal)

c. Harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU HPP dan UU HKPD

d. Pengelolaan sumber daya air; dan

e. Perbaikan teknis penulisan.

Tags:

Berita Terkait