Akademisi Ini Ingatkan 4 Poin Penting dalam Penyusunan RKUHP
Terbaru

Akademisi Ini Ingatkan 4 Poin Penting dalam Penyusunan RKUHP

Meliputi pedoman untuk menentukan delik mana yang dimasukan atau diletakan di luar KUHP; pedoman menentukan ancaman pidana; penegasannya revisi KUHP lewat UU lain; kompilasi dan publikasi UU yang telah diubah.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Proses revisi KUHP terus bergulir di Senayan, berbagai kelompok masyarakat telah menyampaikan beragam masukan termasuk dari kalangan akademisi. Akademisi Hukum Pidana STH Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari, mengatakan perubahan KUHP akan berdampak terhadap banyak hal. Karena itu, pemerintah dan DPR harus mengantisipasinya dengan menyiapkan sedikitnya 4 cara.

Pertama, membuat kriteria untuk menentukan delik-delik yang harus dimasukkan atau diletakan di luar KUHP. Kedua, mengatur pedoman penentuan jenis dan besaran ancaman pidana. Ketiga, penegasan dimungkinkannya revisi KUHP melalui UU lain. Keempat, kompilasi dan publikasi UU yang telah diubah. Untuk melakukan hal tersebut, pemerintah dan DPR perlu merevisi terlebih dulu UU No.12 Tahun 2011 jo UU No.15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.  

“Karena KUHP ini berbeda dengan UU yang biasa diundangkan. Karena itu, butuh pengaturan lebih lanjut,” kata Anugerah Rizki Akbari dalam webinar bertema “Uji Implementasi RKUHP Terhadap Peraturan Perundang-Undangan dan Hukum Acara”, Kamis (27/5/2021). (Baca Juga: Menuntut Peran Kontrol MK dalam Proses Pembentukan UU)

Pria yang akrab disapa Eki ini mengatakan di Indonesia terlalu banyak UU yang mengatur ketentuan hukum pidana dan sanksi. Hal ini berpotensi menimbulkan penghukuman yang tidak adil karena ada sanksi yang diberikan untuk perbuatan yang sebenarnya tidak perlu dikenakan sanksi pidana. Hasil penelitian yang dilakukannya periode 1998-2014 menunjukkan dari 563 UU yang diterbitkan ada 154 UU yang memuat ketentuan pidana.

“Hampir 80 persen dari UU yang disahkan memuat ketentuan kriminalisasi yang bentuknya merevisi ketentuan UU yang sudah ada atau membentuk ketentuan pidana baru,” ujarnya.

Dalam periode tersebut, Eki menghitung ada 112 UU menciptakan ketentuan pidana baru, dan 154 UU merevisi ketentuan pidana sebelumnya. Dari 112 UU yang menciptakan pidana baru itu kebanyakan berkaitan dengan pidana yang sifatnya pelanggaran. Dalam kriminologi bobot pelanggaran nilainya lebih rendah daripada kejahatan.

Selain itu, pidana penjara masih menjadi satu-satunya pilihan bentuk hukuman. Bahkan kecenderungannya sekarang lebih memilih pidana alternatif kumulatif atau kumulatif, baik penjara dan/atau denda. Maka ketika pidana denda tidak dibayar, pelaku harus menggantinya dengan penjara. “Masalah legislasi ini berkaitan juga dengan persoalan kapasitas penjara yang kurang memadai,” paparnya.

Tags:

Berita Terkait