Menuntut Peran Kontrol MK dalam Proses Pembentukan UU
Utama

Menuntut Peran Kontrol MK dalam Proses Pembentukan UU

Karena penyelenggara negara masih abai terhadap putusan MK dengan memasukan kembali pasal-pasal yang sudah dibatalkan MK dalam pembentukan RKUHP atau UU lain. Hal ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Apakah Pembaruan KUHP Sudah Berdasarkan Konstitusi Negara Republik Indonesia?', Kamis (27/5/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Apakah Pembaruan KUHP Sudah Berdasarkan Konstitusi Negara Republik Indonesia?', Kamis (27/5/2021). Foto: RFQ

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berada di ujung pengesahan. Kendati rampung sudah pembahasan di tingkat pertama, ada materi RKUHP masih dipertanyakan. Terdapat sejumlah pasal yang telah dibatalkan malah dimasukan kembali dalam RKUHP. Secara hukum tata negara, langkah tersebut dianggap sebagai bentuk constitutional disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat yang harus ditaati pembentuk UU dan setiap warga negara.

Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harjanti mengingatkan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam proses pembentukan RKUHP. Konstitusi memberi wewenang MK untuk menyatakan sebuah UU bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Karena itu, MK semestinya diberi peran kontrol dalam proses pembentukan UU dalam hal ini RKUHP. Sebab, terdapat sejumlah pasal yang telah dibatalkan malah dimasukan kembali dalam RKUHP oleh pembentuk UU, pemerintah dan DPR. Hal ini sebagai bentuk pembangkangan konstitusi. “Ini perlu meletakan peran kontrol MK dalam proses pembentukan UU dalam kerangka demokrasi,” ujar Prof Susi dalam webinar bertajuk “Apakah Pembaruan KUHP Sudah Berdasarkan Konstitusi Negara Republik Indonesia?”, Kamis (27/5/2021).

Prof Susi melihat selama ini penyelenggara negara belum sepenuhnya taat dan patuh terhadap putusan. Padahal melalui putusannya, MK memiliki peran check and balances dari setiap kebijakan negara. Dia menilai Indonesia menempatkan MK sebagai lembaga formalitas belaka yang hanya sebatas menyediakan forum pengujian UU sebagai dasar segala tindakan yang dilakukan negara. Selama ini warga negara tak dapat banyak berharap kepada MK karena efektivitas pelaksanaan putusan MK bergantung dari lembaga lain untuk menindaklanjuti.

Dalam proses pembentukan UU, kata Susi, yang dilakukan DPR menentukan politik hukum terlebih dahulu sebelum masuk ke soal substansi norma. Namun tak boleh lupa, politik hukum bukan semata-mata ranah monopoli pembentuk UU. Lembaga peradilan pun dapat membentuk politik hukum melalui putusan-putusannya, seperti MK sebagai negatif legislator yang membatalkan norma dalam UU yang bertentangan dengan konstitusi.

“Kalau nanti pembentuk UU memasukan lagi norma yang sudah dibatalkan MK, kemudian dihidupkan lagi di RUU atau UU, apakah ini pembuat UU menempatkan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi? Mengapa dia (DPR dan pemerintah, red) tidak mematuhi putusan MK?” (Baca Juga: Mencari Solusi Problematik Pembangkangan Terhadap Konstitusi)  

Sebut saja, dalam pengujian pasal penghinaan terhadap kepala negara (presiden) dalam Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP. Dalam putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006 intinya norma dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun dalam RKUHP, norma-norma dalam sejumlah pasal KUHP yang telah dibatalkan malah dihidupkan lagi dalam Pasal 218 dan 219 RKUHP.

Tags:

Berita Terkait