Menuntut Peran Kontrol MK dalam Proses Pembentukan UU
Utama

Menuntut Peran Kontrol MK dalam Proses Pembentukan UU

Karena penyelenggara negara masih abai terhadap putusan MK dengan memasukan kembali pasal-pasal yang sudah dibatalkan MK dalam pembentukan RKUHP atau UU lain. Hal ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Pembentuk UU semestinya dapat menjelaskan alasannya mengapa menghidupkan lagi norma-norma pasal-pasal yang sudah dibatalkan MK dengan logika formal dan nalar pembentukan UU. Padahal, pembentuk UU memiliki kewajiban membentuk budaya hukum untuk menjustifikasi setiap putusan MK untuk dilaksanakan. “Penegakan norma konstitusi termasuk patuh atau tidaknya terhadap putusan MK sangat tergantung pada etika dan moralitas penyelenggara negara.”

Menurutnya, ke depan perlu sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak mematuhi putusan MK. Sebab, selama ini belum ada aturan pemberian sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak mematuhi putusan MK. “Persoalannya sekarang pejabat-pejabat politik yang tidak patuh terhadap putusan MK. Perlu ke depan berpikir tindakan-tindakan apa yang perlu dilakukan bagi pejabat-pejabat politik itu yang tidak menaati putusan MK. Sebab kepatuhan putusan MK itu cerminan cara kita berkonstitusi,” katanya.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Milda Istiqomah mengatakan menghidupkan lagi norma-norma dalam pasal KUHP yang telah dibatalkan MK ke dalam RKUHP bentuk pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam berdemokrasi. Misalnya, pasal penghinaan kepala negara dalam KUHP yang telah dicabut pada 2006 oleh MK, tapi dimasukan kembali dalam RKUHP.  

Dia menilai RKUHP malah diarahkan melindungi kepentingan politik negara dan kelompok masyarakat, ketimbang mencari keseimbangan melalui kebebasan sipil dan hak-hak induvidu. “Hukum pidana tidak lagi dilihat sebagai ultimatum remedium, tetapi difungsikan terutama sebagai instrumen ‘penekan’ atau ‘pembalasan’. Ini menjadi persoalan besar,” kata Milda.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward OS Hiariej menilai materi muatan yang diatur KUHP di seluruh dunia terkait penghinaan antara satu negara dengan lainnya berbeda. Menurutnya, memang penting dijelaskan ke publik supaya pasal penghinaan, kejahatan politik (kejahatan terhadap keamanan negara) tak mengambil padanan dari negara lain.

“Perlu ditelaah adalah KUHP nasional yang bercorak Pancasila. Pasal penghinaan ini berbeda.  Jadi jangan diperbandingkan dengan negara lain karena masalah sosial politik dan budaya pun berbeda,” ujarnya.

Target disahkan 2021

Prof Edward O.S Hiariej melanjutkan pembuatan KUHP nasional bukanlah persoalan mudah, seperti membalikan telapak tangan. Sebab, Indonesia terdiri dari masyarakat yang heterogen, multikultur, multi religi dan terdiri dari banyak ragam bahasa lokal. Karenanya, sejak 58 tahun lalu, meski pembaharuan KUHP sudah bergulir, tapi hingga kini masih belum rampung.  Membandingkan dengan Belanda, yang wilayahnya tak melebihi dari Provinsi Jawa Barat serta penduduk yang tak begitu banyak membutuhkan waktu 70 tahun untuk memiliki KUHP.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait