Akademisi Kritik RUU Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
Berita

Akademisi Kritik RUU Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional

Klaim kebudayaan adalah hal biasa, sehingga tidak perlu ditanggapi. Coba hitung berapa banyak kita meniru dan mengambil kebudayaan dari negara lain, seperti Spanyol, Amerika. Kalau setiap masyarakat itu marah itu kan jadi repot, ujar Tamrin Amal Tumuyola, Sosiolog dari UI.

Oleh:
M-7
Bacaan 2 Menit

 

Masalah klaim mengklaim budaya Indonesia oleh Malaysia terus menimbulkan polemik. Tarian pendet yang sempat ditayangkan di discovery channel untuk iklan pariwisata Malaysia, memang membuat berang masyarakat di Sini. Sampai-sampai ada orang Indonesia yang melakukan tidakan anarkis dengan men-sweeping orang negeri Jiran tersebut.

 

Tamrin Amal Tumuyola, Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) menyatakan perbuatan anarkis seperti itu adalah tidakan nasionalitas yang tidak berintelek. Buat apa marah-marah dengan Malaysia bahkan melakukan tindakan anarkis, ujarnya dalam Seminar Wajah Kabudayan Indonesia di Balai Sidang UI, Selasa (15/9).

 

Menurutnya, masalah klaim kebudayaan suatu bangsa adalah hal biasa, sehingga tidak perlu ditanggapi. Coba hitung berapa banyak kita meniru dan mengambil kebudayaan dari negara lain, seperti Spanyol, Amerika. Kalau setiap masyarakat itu marah itu kan jadi repot, kata Tamrin.

 

Dia menilai kebudayaan adalah barang yang lumrah yang tidak perlu dipersoalkan. Masalah batik yang diklaim Malaysia, kata dia, bukanlah suatu hal yang salah. Sebab, sudah banyak orang Jawa yang nyebrang ke Malaysia. Apalagi orang Jawa kalau pidah mereka inginnya bedol desa. Artinya satu kampung ikut pindah dengan tujuan supaya seluruh perangkat kelembagaan dan desa mereka utuh, demikian Tamrin.

 

Hal senada juga lontarkan Bachtiar Alam, Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat UI. Bachtiar menilai dari prespektif antropologi, kebudayaan tidak mempersoalkan asal usulnya. Di Indonesia saja, kata dia, terdiri dari tiga unsur bahasa, yaitu 30 persen bahasa Arab, 40 persen Melayu dan 30 persen Sanksekerta. Kebudayaan adalah milik semua umat, masalah klaim-mengklaim adalah masalah yang kecil dan tidak akan ada habis-habisnya, cetusnya.

 

Menurut Bachtiar, tindakan emosi dalam menghadapi masalah klaim budaya Indonesia oleh Malaysia, justru menunjukkan tindakan gegabah bangsa ini dalam merespon tindakan-tindakan tersebut. Perlu diketahui budaya Indonesia bukan warisan tetapi suatu kreasi. Bumi ini bukan warisan nenek moyang tetapi titipan anak cucu, tuturnya.

 

Para akademisi yang juga pengamat tersebut boleh saja berpendapat seperti itu, namun yang jelas, masalah ini bukan persoalan sepele. Apalagi ‘perseteruan' Indonesia-Malaysia bukan hanya terjadi pada ranah budaya saja. Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah seharusnya tanggap untuk mengatasi polemik yang berkepanjangan ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: