Akomodir Aduan Refund, YLKI Desak Amandemen UU Perlindungan Konsumen
Utama

Akomodir Aduan Refund, YLKI Desak Amandemen UU Perlindungan Konsumen

YLKI juga menilai UUPK yang akan diamendemen harus memberikan perlindungan pada produk adiktif karena pada UUPK saat ini belum ada aturan yang mengatur terkait iklan, marketing dan hal lainnya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Ketua YLKI Tulus Abadi. Foto: MJR
Ketua YLKI Tulus Abadi. Foto: MJR

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak DPR segera membahas amendemen Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang saat ini sudah masuk ke dalam Prolegnas. Pembahasan UUPK perlu segera dilakukan untuk mengakomodir pengaduan konsumen pada era digital, termasuk aduan mengenai refund yang marak sepanjang 2022.

“Saat ini UUPK sudah masuk prolegnas, sehingga DPR perlu segera melakukan pembahasan amendemen UUPK untuk melindungi masyarakat konsumen,” kata Ketua YLKI Tulus Abadi dalam Jumpa Pers Refleksi Pengaduan Konsumen secara daring, Jumat, (20/1), dilansir dari Antara. 

Desakan tersebut bukan tanpa alasan. Dalam laporan tahunan, YLKI mencatat pengaduan seputar refund berada pada nomor urut pertama terkait permasalahan belanja online. Sebanyak 32 persen dari konsumen terkait belanja online mengeluhkan proses refund yang lama dan melebih tenggat waktu yang dijanjikan.

Baca Juga:

Persoalan terkait refund juga mendominasi aduan pada permasalahan perumahan dengan persentase 27 persen. Konsumen kerap kali mengadukan agen perumahan yang tidak mengembalikan Down Payment (DP) karena gagal melewati BI checking padahal sebelumnya dijanjikan DP akan kembali jika tidak lolos BI checking.

“Permasalahan refund dalam bertransaksi masih menjadi soal di berbagai sektor seperti uang tidak dikembalikan, uang dipotong, refund tidak jelas. Padahal secara regulasi refund merupakan hak konsumen yang dijamin oleh UUPK,” ujar Tulus.

Selain mengenai refund, YLKI juga menilai UUPK yang akan diamendemen harus memberikan perlindungan pada produk adiktif karena pada UUPK saat ini belum ada aturan yang mengatur terkait iklan, marketing dan hal lainnya.

“Sehingga produk adiktif konsumen pendekatannya berbeda sehingga harus ada pasal-pasal khusus yang dimasukkan dalam amandemen UUPK tersebut,” ujarnya.

Di samping itu, Tulus juga mendorong kepatuhan pelaku usaha terhadap implementasi UU (Perlindungan Data Pribadi) dan mencegah kebocoran data konsumen, termasuk memaksimalkan UU PDP sebagai payung hukum saat bertransaksi digital karena pengetahuan konsumen mengenai bisnis proses terutama e-commerce masih rendah yang kemudian memunculkan konflik saat proses Cash on Delivery terjadi.

Belum lagi masih banyak konsumen yang terjebak dengan iklan produk dengan iming-iming harga murah, sehingga pelaku usaha juga perlu meningkatkan literasi konsumen terhadap transaksi secara online termasuk mengenai jasa keuangan.

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Irna Nurhayati, banyak perubahan dinamika yang terjadi selama dua puluh tahun sejak UUPK diterbitkan pada tahun 1999 silam. Hal ini membuat UUPK sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi sehingga diperlukan perubahan atau amandemen.

“Memang dari usia yang sudah cukup tua ada beberapa isu atau persoalan terkait kelemahan-kelemahan di UUPK. Karena belum sesuai perkembangan zaman dan belum harmonis dengan peraturan-peraturan yang baru,” kata Irna.

Irna mengatakan salah satu hal yang harus direvisi dalam UUPK adalah klausula baku. Dia menilai dalam revisi UUPK perlu penambahan kata ‘baku’ setelah kata ’perjanjian’ pada Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3), serta perlu diberikan definisi perjanjian baku pada pasal 1. Selain itu perlu mengakomodasi pengaturan e-commerce khususnya transaksi konsumen lintas negara sesuai UU 19 Tahun 2016 tentang ITE.

Di sisi lain, revisi UUPK juga harus mengatur lebih terstruktur atau tersistematis untuk sektor yang spesifik atau tertentu seperti pengaturan larangan perusahaan periklanan (pasal 17 ayat (1)) menjadi satu bagian/kesatuan dengan pengaturan tanggung jawab pengusaha periklanan.

Revisi UUPK perlu dipertimbangkan untuk mengakomodasi pengaturan cross-border consumer protection in ASEAN Economic Community (AEC), serta extraterritoriality principle dan mengakomodasi online dispute resolution (ODR) untuk penyelesaian sengketa ganti rugi transaksi online.

Tags:

Berita Terkait