Aksesabilitas Dokumen Perusahaan
Kolom

Aksesabilitas Dokumen Perusahaan

Akses publik terhadap informasi (public access to information) senantiasa dikaitkan dengan hak publik untuk memperoleh informasi dengan cara yang mudah dan sederhana (dalam konteks makalah ini adalah informasi dalam bentuk dokumen perusahaan). Aksesabilitas publik merupakan bentuk pengaktualisasian prinsip transparansi/keterbukaan. Aksesabilitas publik atas informasi hanya dapat tumbuh dalam suatu negara yang pemerintahannya mempunyai komitmen mewujudkan pemerintahan terbuka.

Bacaan 2 Menit
Aksesabilitas Dokumen Perusahaan
Hukumonline

Belakangan ini, tuntutan terhadap tranparansi serta keterbukaan proses penyelenggaraan negara dalam mengelola sumber daya publik (public resources management) semakin besar dalam bentuk tuntutan terhadap perlunya good governance. Tuntutan ini dapat dilihat dari tuntutan masyarakat internasional yang diwakili oleh IMF, CGI, Bank Dunia maupun ADB.

Sementara di tingkat nasional, tuntutan pemerintahan terbuka ini dapat terlihat dalam bentuk hasil/rekomendasi Forum Rembug Nasional (FRN) di Bali pada Juli 2000, rancangan RUU Propenas (khusus Bab III tentang Supremasi Hukum dan Pembenahan Aparatur Pemerintah), serta gagasan LSM Indonesian Center for Environmental Law (ICAL) yang didukung oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) untuk mengundangkan UU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi (Freedom of Information Act.).

Di sektor pelaku usaha, tuntutan terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) kini juga telah menjadi tuntutan masyarakat usaha dan perhatian pemerintah. Berdasarkan pengertian GCG dari Bank Pembangunan Asia, ada 4 pilar yang menopang penerapan GCG.

Pertama, accountability, adanya kemampuan perusahaan untuk menjawab semua pertanyaan para pemilik saham atas semua langkah yang dilakukan. Kedua, tranparency, adanya akses untuk mendapatkan informasi secara jelas dan akurat setiap saat, tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Ketiga, predictability, adanya kepastian dan dapat diramalkan apa yang terjadi di kemudian hari berhubungan dengan kemajuan perusahaan terdapat kejelasan mengenai kepastian hukum, perlakuan yang konsisten dan sebagainya. Keempat, participation, adanya keterlibatan pihak pemilik saham untuk turut memantau terhadap gerak langkah perusahaan.

Di Indonesia, untuk mempercepat pengaktualisasian GCG telah dibentuk Komite Nasional tentang corporate governance yang beranggotakan wakil-­wakil pemerintah, bisnis, keuangan, akuntansi, dan hukum. Komite nasional juga telah menyusun Pedoman GCG (Code for Good Corporate Governance). Selain itu, 5 perusahaan BUMN telah ditetapkan menjadi pilot cases dalam pengujian penerapan GCG (PT Timah, PT Jasa Marga, PT PLN, PT Pelayaran Indonesia, dan PT Perkebunan VIII).

Penyediaan akses publik terhadap informasi sebenarnya merupakan bentuk pengaktualisasian dari prinsip transparansi dan keterbukaan untuk memudahkan institusi-institusi publik maupun korporasi menerapkan akuntabilitas publik. Seluruh langkah-langkah institusi dan korporasi dimaksud dapat dipertanggungjawabkan kepada publik (luas maupun terbatas).

Aksesabilitas dokumen perusahaan

Kecuali UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, berbagai peraturan perundang- undangan yang menyangkut dokumen publik maupun perusahaan, tidak memberikan dasar bagi pemberlakuan akses publik terhadap dokumen-­dokumen dimaksud.

UU No. 7 Tahun 1971 tentang Kearsipan, sebagai contoh, tidak mengatur masalah aksesabilitas publik terhadap informasi yang digolongkan sebagai arsip. Bahkan, pihak yang memberitahukan isi naskah yang bersifat rahasia kepada pihak yang tidak berhak mengetahuinya diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun. Di sisi lain, UU Kearsipan tidak mendefinisikan naskah yang bersifat rahasia, dan juga tidak mendefinisikan "pihak yang berhak mengetahuinya".

Ketidakjelasan ini mengakibatkan munculnya penafsiran sepihak (deskresif) tentang pengertian "rahasia" maupun "pihak yang tidak berhak mengetahuinya". Dengan demikian, pasal ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi orang­-orang/petugas yang terdapat pada lembaga-lembaga negara, badan-badan pemerintahan maupun masyarakat umum yang memberi atau menerima sebagian atau seluruh naskah yang dikategorikan rahasia secara sepihak.

UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur perseroan (PT) di luar perseroan terbuka (PT Tbk) pada dasarnya juga tidak memberi akses kepada publik untuk memperoleh dokumen (buku, catatan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan perseroan). Namun demikian dalam hal-hal tertentu (pengecualian), pihak-pihak tertentu (terbatas) dapat mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan ke pengadilan negeri (pasal 110).

Pihak-pihak tertentu tersebut adalah pemegang saham dengan hak mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, pihak lain yang secara tegas diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan atau perjanjian dengan perseroan (yang memberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan), kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.

Permohonan pemeriksaan hanya dapat diajukan dalam hal : (1) perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; (2) anggota direksi atau komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga. Apabila permohonan pemeriksaan dikabulkan oleh pengadilan negeri, pemeriksaan dilarang mengumumkan hasil pemeriksaan kepada pihak lain (Pasal 111). Dengan demikian, akses publik terhadap informasi yang terkait dengan perusahaan tidak dikenal dalam UU ini.

UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan merupakan UU yang secara garis besar mewajibkan penyimpanan dokumen perusahaan (dokumen keuangan dan dokumen lain lain) untuk jangka waktu tertentu. UU ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi kepentingan para pihak dalam suatu hubungan hukum di satu sisi, sedangkan di sisi lain tidak menimbulkan beban ekonomi dan administrasi yang besar bagi perusahaan.

UU ini tidak terkait secara langsung dengan penyediaan akses publik terhadap dokumen perusahaan (termasuk dokumen yang dimiliki lembaga pemerintah yang dalam kegiatannya atau tugasnya memiliki dan menghasilkan dokumen sebagaimana layaknya perusahaan).

Walaupun tidak terkait langsung, kewajiban perusahaan membuat catatan (neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan, rekening, jurnal transaksi harian) dan kewajiban menyimpan dokumen untuk jangka waktu tertentu dapat mendukung akses masyarakat maupun negara terhadap informasi perusahaan dimaksud dalam rangka kepentingan publik.

Satu-satunya peraturan perundang-undangan yang menyediakan akses publik terhadap informasi perusahaan adalah UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dikarenakan prinsip penting dalam pasar modal adalah full disclosure (keterbukaan penuh), maka aksesabilitas publik terhadap informasi perusahaan menjadi hal yang sangat penting dalam dunia pasar modal.

Bagi emiten (penerbit emisi efek) yang pernyataan pendaftaran penjualan saham telah menjadi efektif atau perusahaan yang statusnya telah menjadi perusahaan publik (perseroan publik), menurut UU Pasar Modal diwajibkan menyampaikan laporan secara berkala kepada Bapepam dan mengumumkannya kepada masyarakat. Juga setiap peristiwa material yang dapat mempengaruhi harga efek wajib dilaporkan kepada Bapepam dan mengumumkannya kepada masyarakat.

Dalam prakteknya, berbagai laporan yang bersifat terbuka tersebut oleh Bapepam dan pengelola bursa (Self Regulated Organization di bidang bursa seperti PT BEJ) diletakkan pada Pusat Refensi Pasar Modal (PRPM) yang dikelola oleh SRO, media elektronika yang dapat diakses secara real time di bursa, dalam bentuk hard copy ke seluruh anggota bursa, dan melalui website yang dapat diakses oleh masyarakat luas.

Peraturan perundang-undangan lainnya yang tidak terkait langsung dengan perusahaan, dokumen perusahaan maupun kearsipan yang memberikan jaminan hukum bagi akses publik terhadap informasi adalah UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 5 ayat 2.

UU ini memberikan hak hukum kepada setiap orang untuk memperoleh informasi yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk informasi dalam bentuk dokumen perusahaan seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), status penataan perusahaan terhadap persyaratan-­persyaratan perlindungan lingkungan dan lain sebagainya.

Implikasi GCG terhadap keterbukaan perusahaan

Good Corporate Governance (GCG) lebih giat dibahas oleh para pengambil keputusan dikalangan pelaku pasar modal dalam rangka upaya pengembangan pasar modal ke depan yang lebih sehat. Namun, GCG tidak terhatas pemberlakuannya pada perusahaan­perusahaan publik (listed corporate) saja. GCG juga relevan diterapkan oleh perusahaan-perusahaan nonpublik.

Mendasarkan pada definisi dan keempat pilar penting GCG, maka kepedulian yang selama ini hanya difokuskan perusahaan kepada maximazing shareholders wealth tidaklah cukup. Maximizing shareholders wealth tidak mungkin dapat terwujud apabila pertimbangan yang bersifat substansial terhadap upaya-upaya proaktif bagi perlindungan konsumen, peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar industri, menjaga daya dukung ekosistem, meningkatkan upaya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja serta kesejahteraan buruh sebagai stakeholders (petaruh-petaruh) utama tidak dilakukan.

Pengaktualisasian GCG dengan demikian menuntut perubahan paradigma di kalangan corporate decision makers. Dari ketertutupan menjadi keterbukaan dengan menekankan pada upaya memaksimalkan shareholders wealth dengan mengakomodasikan secara optimal kepentingan  external stakeholders.

Sifat ketertutupan informasi yang dipromosikan oleh UU Perseroan Terbatas dengan demikian perlu dilakukan pengkajian ulang. Dalam konteks dokumen perusahaan, pengelolaan dokumen perusahaan yang baik dan bersifat terbuka (kecuali untuk hal-hal yang secara layak diberlakukan sebagai rahasia) akan sangat membantu mendorong GCG.

Akses publik terhadap informasi perusahaan

Sejak Agustus 2000, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) meluncurkan Konsep dan Rancangan Undang-­Undang (RUU) tentang Kebebasan Memperoleh Informasi. RUU ini dimaksudkan sebagai upaya awal dan salah satu perangkat untuk mewujudkan pemerintahan terbuka (open government). Perwujudan open government diyakini sebagai salah satu upaya penting mewujudkan good governance.

Prinsip-prinsip yang diperjuangkan dalam RUU tersebut dalam RUU tersebut antara lain: kebebasan untuk melihat dan mengatahui informasi; kebebasan untuk memperoleh salinan dokumen yang dimiliki atau dikuasai lembaga­-lembaga negara, institusi-institusi non pemerintah yang mengemban fungsi kepentingan publik, perusahaan milik negara (state owned corporation), dan perusahaan-perusahaan swasta yang mendapatkan kontrak dari pemerintah untuk menjalankan fungsi pelayanan publik yang selama ini dilaksanakan pemerintah.

Kehadiran UU Kebebasan Memperoleh Informasi merupakan keniscayaan. Namun demikian, pemberlakuan hak hukum dan ketentuan tentang pengecualian saja tidaklah memadai. Pertanyaannya adalah sejauhmana lembaga- lembaga yang informasinya dapat diakses oleh publik memiliki kesiapan untuk melayani publik?

Persoalan, shifting of paradigm, budaya kekuasaan, manajemen informasi yang sangat jelek (terutama di instansi pemerintah), tidak adanya budaya pelayanan publik, dan berbagai peraturan perundang-undangan atau yang selama ini bertolak belakang dengan semangat kebebasan untuk memperoleh informasi perlu secara sistematis diatasi bersamaan dengan pengembangan RUU ini.

UU Dokumen Perusahaan sebaiknya perlu dilengkapi dengan berbagai ketentuan yang mendukung semangat keterbukaan seperti halnya kewajiban pengelolaan dokumen dan pengadaan sistem pelayanan publik. Begitu juga dengan ketentuan tentang kearsipan hendaknya tidak mengobral pemberlakuan kebijakan rahasia negara dan sanksi yang menakutkan bagi kalangan pro demokrasi dan keterbukaan.

Inisiatif pemberlakuan rahasia dagang dan rahasia negara hendaknya tidak diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan sendiri-sendiri yang sangat mungkin bertentangan satu sama lainnya. Dalam pemerintahan yang terbuka, rahasia dagang dan rahasia negara haruslah merupakan pengecualian (exemptions) dari kebebasan memperoleh informasi, sehingga berbagai jenis rahasia tersebut cukup diselipkan (insert) ke dalam UU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi.

Dengan pemberlakuan UU Kebebasan Memperoleh Informasi diharapkan penyelenggara negara dan institusi-institusi yang terkait dengan kepentingan publik menjadi lebih akuntabel, sehingga kecurangan- kecurangan dalam pembangunan tidak lagi menjadi pemandangan kita sehari-hari.

 

Mas Achmad Santosa, SH, LLM  adalah pengamat hukum, peneliti senior ICEL, serta penggagas RUU kebebasan Memperoleh Informasi

 

 

Makalah ini disampaikan pasda seminar Nasional UU Dokumen Perusahaan pada November 2000

 

Tags: