Aktivis dan Pedagang Bersiap Gugat UU Perdagangan
Berita

Aktivis dan Pedagang Bersiap Gugat UU Perdagangan

Sebagian materi UU Perdagangan dinilai tidak memberikan kepastian hukum terhadap pengusaha kecil.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Foto: www.igj.or.id
Foto: www.igj.or.id
Pengesahan Undang-Undang Perdagangan ternyata tidak diterima semua pihak. Sebelum UU Perdagangan ini disahkan, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) meminta UU ini ditunda untuk disahkan. Isi UU Perdagangan dianggap masih liberal dan tidak melindungi kepentingan dalam negeri. Asosiasi pedagang juga masih beda pandangan tentang UU tersebut.

Pihak yang ingin menggugat UU Perdagangan adalah Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI). Menurut Monitoring dan Riset Manager IGJ Rachmi Hartanti, pengesahan UU Perdagangan oleh DPR dan pemerintah pada dasarnya tidak mengubah wajah kolonialisme dari undang-undang perdagangan terdahulu. Sebagian materi UU Perdagangan dituding sebagai adopsi ketentuan perjanjian perdagangan internasional, yakni World Trade Organization (WTO).

“Ketentuan WTO merupakan suatu bentuk aturan neo-kolonialisme yang mendorong liberalisasi perdagangan sehingga mengakibatkan hilangnya kedaulatan Negara dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya akibat komitmen yang diikatkannya,” kata Rachmi dalam rilis yang diterima oleh hukumonline hari ini, Jumat (28/2).

Atas dasar tersebut, IGJ menilai UU Perdagangan berpotensi melanggar Konstitusi. Ada beberapa pasal dalam UU Perdagangan yang dinilai melanggar konstitusi menurut analisis IGJ.

Pertama, UU Perdagangan telah menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi pelaku usaha kecil seperti petani, nelayang dan UMKM. Beberapa pasal dalam UU Perdagangan yang dianggap melanggar Pasal 28 H ayat (2) Konstitusi adalah pasal 2 huruf c, pasal 14 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 57 ayat (1) dan (2), serta pasal 113. Untuk pasal 57 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang standardiasasi, Rachmi menilai akan merugikan pelaku usaha kecil yang akan kesulitan memenui SNI.

“Mengingat dukungan yang diberikan pemerintah sangat minim, hal ini akan mendiskriminasikan pelaku usaha rakyat ketika tidak mampu berhadapan dengan pelaku usaha besar yang diperlakukan sama,” jelasnya.

Kedua, UU Perdagangan telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil bagi kelompok rakyat ekonomi rentan sehingga menghilangkan tanggung jawab Negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melindungi hak-hak dasar kelompok nasyarakat rentan yang dirugikan dari praktik perdagangan bebas. Praktik perdagangan bebas yang merugikan masyarakat, khususnya petani, nelayan dan UMKM, semakin dilanggengkan dengan keberadaan UU Perdagangan.

Materi UU Perdagangan yang dinilai melanggar Pasal 28 D ayat (1) dan Psal 28 I ayat (1) Konstitusi adalah pasal 13 ayat (2) huruf a, pasal 14 ayat (3), psal 25 ayat (3), pasal 26 ayat (3), pasal 35 ayat (2), pasal 50 ayat (2), pasal 54 ayat (1), pasal 54 ayat (3), pasal 57 ayat (2) dan (4), pasal 66, pasal 83, pasal 84 ayat (1) dan ayat (7), pasal 85 ayat (2) dan pasal 113.

“Bahkan aturan perlindungan kepentingan nasional terhadap ancaman perdagangan bebas seakan sengaja dibuat mengambang dan tidak mengikat kuat secara hukum. Sehingga menghilangkan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat,” ungkap Rachmi.

Ketiga, UU Perdagangan dinilai telah menghilangkan hak-hak petani, nelayan, dan UMKM untuk mendapatkan perlindungan dan melakukan pembelaan untuk mempertahankan kepentingannya. Dalam hal ini, pengambilan kebijakan perdagangan yang akan berdampak terhadap kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, Negara tidak melibatkan petani, nelayan, dan UMKM sebagai unsur utama.

Adapun pasal-pasal dalam UU Perdagangan yang dianggap melanggar konstitusi adalah pasal 60 ayat (3), pasal 70 ayat (1), dan pasal 97 ayat (3).

Keempat, UU Perdagangan telah menghilangkan kedaulatan rakyat untuk dapat mempertahanan kehidupannya. Pembukaan pasar telah mendorong lonjakan impor yang akhirnya menyingkirkan keberadaan produk lokal yang kalah bersaing dengan produk impor. “Hal ini kemudian berdampak terhadap pelaku usaha kecil lokal yang semakin tersingkir perannya dan pada akhirnya menghilangkan sumber penghidupannya. Kedaulatan rakyat atas ekonominya menjadi hilang,” tuturnya.

Untuk pasal dalam UU Perdagangan yang dinilai melanggar konstitusi dalam hal ini adalah pasal 26 ayat (1) dan pasal 57 ayat (4).

Selanjutnya, kelima, UU Perdagangan menghilangkan jaminan dan hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan layak. Hal tersebut tergambar di dalam pasal 26 ayat (1) dan pasal 57 ayat (4) dan ayat (7). Keenam, UU Perdagangan telah melanggar kedaulatan ekonomi nasional seperti terdapat di pasal 13 ayat (1) UU Perdagangan.

Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Raja Sapta Oktohari mengaku telah menyampaikan masukan kepada Presiden SBY pada 2012 terkait perlindungan dan perlakuan khusus kepada pengusaha muda Indonesia. Pengusaha berharap Presiden SBY menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang melindungi usaha kecil nasional.

Menurut Okto, pengusaha muda terutama pemula membutuhkan perlakuan khusus agar dapat berkembang menjadi pengusaha besar. Semua aturan yang selama ini diberlakukan kepada pelaku usaha yang sudah berpengalaman tidak bisa diberlakukan sama dengan pelaku usaha muda dan pemula. Untuk itu, Perpres tersebut diharapkan dapat mengakomodasi pengusaha muda pemula untuk mengembangkan usahanya menjadi lebih baik.

Tiga poin penting yang diharapkan pengusaha masuk dalam Perpres adalah kemudahan proses perizinan, kemudahan layanan keuangan, dan kemudahan akses pasar.
Tags:

Berita Terkait