Alasan MK Tolak Permohonan OC Kaligis Soal Aturan Remisi
Terbaru

Alasan MK Tolak Permohonan OC Kaligis Soal Aturan Remisi

Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 tidak bersifat multitafsir dan diskriminatif, sehingga dalil Pemohon yang menyatakan norma a quo bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Pengaturan hak narapidana bentuk kehadiran negara dalam upaya melindungi warga negaranya sekalipun berstatus sebagai narapidana. Artinya, negara bersikap proaktif untuk memberi kebebasan dan keistimewaan tertentu yang ditetapkan dan ditegakkan seperangkat aturan hukum.

“Karena pemohon merupakan subjek hak, in casu hak remisi, maka rumusan norma yang isinya hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana (termasuk pemohon) menurut Mahkamah tidak mungkin ditafsirkan lain selain apa yang tersurat dalam rumusan norma a quo. Dengan demikian, Mahkamah kembali menegaskan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 tidak bersifat multitafsir dan diskriminatif, sehingga dalil Pemohon yang menyatakan norma a quo bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah. 

Pemohon juga mendalilkan akibat berlakunya Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan yang bersifat multitafsir telah membuka ruang adanya campur tangan pihak lain dalam penentuan pemberian hak remisi bagi narapidana yang lebih ketat dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. 

Menurut Mahkamah, permasalahan demikian bukan karena inkonstitusionalnya norma dalam UU Pemasyarakatan yang dimohonkan pengujian, melainkan persoalan implementasi norma yang dialami pemohon terkait mekanisme pemberian remisi sebagaimana diatur UU Pemasyarakatan yang dikaitkan salah satu peraturan pemerintah yang mensyaratkan setiap narapidana tindak pidana korupsi harus mendapatkan predikat sebagai justice collaborator untuk mendapatkan hak remisi. 

Kewenangan lapas 

Mahkamah juga menegaskan kewenangan memberi remisi menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan (lapas) yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi lembaga lain. Apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan semangat pembinaan warga binaan. Artinya, lembaga pemasyarakatan dalam memberi penilaian bagi setiap narapidana untuk dapat diberikan hak remisi harus dimulai sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan, dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya. 

Apapun jenis tindak pidana yang dilakukan seorang terdakwa maupun hal-hal yang meliputi dengan perbuatan yang dilakukan, seharusnya sudah selesai ketika secara komperehensif telah dipertimbangkan secara hukum dalam putusan pengadilan yang berakhir pada jenis dan masa pidana yang dijatuhkan (strafmaat) oleh hakim.

Bagi terpidana yang menjalani pidana sebagai warga binaan akan memasuki babak kehidupan baru untuk menjalani pidana dalam rangka proses untuk dikembalikan di tengah masyarakat dengan hak-haknya yang harus dipenuhi tanpa ada pengecualian, sepanjang syarat-syarat pokok sebagaimana ditentukan dalam UU Pemasyarakatan terpenuhi. 

“Dalam konteks penjelasan suatu norma, penjelasan sebuah undang-undang juga tidak boleh menambahkan norma baru. Apalagi menambah persyaratan yang tidak sejalan dengan norma pokok yang terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan.”

Tags:

Berita Terkait