Alasan Munarman Bakal Tempuh Upaya Praperadilan
Berita

Alasan Munarman Bakal Tempuh Upaya Praperadilan

Karena penangkapan dianggap menyalahi prosedur dan sulitnya tim penasihat hukum menemui Munarman dalam rangka pemberian bantuan hukum.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Kabagpenum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Ahmad Ramadhan (kiri) didampingi Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus  (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait penangkapan Munarman , yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (27/4/2021). Foto: RES
Kabagpenum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Ahmad Ramadhan (kiri) didampingi Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait penangkapan Munarman , yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (27/4/2021). Foto: RES

Belum rampung menangani kasus kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS), salah seorang pengacaranya berurusan dengan hukum. Ia adalah Munarman, pria yang tak asing bagi kalangan aktivis hukum dan dunia advokat. Munarman ditangkap di rumahnya, kawasan Tangerang Selatan, atas tuduhan terlibat dalam dugaan tindak pidana terorisme. Tak terima dengan penangkapan dan tuduhan berlebihan, Munarman bakal menguji soal sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan melalui jalur praperadilan.

Kuasa Hukum Munarman, Aziz Yanuar mengatakan rencana mengajukan upaya praperadilan sebagai bentuk keberatan atas penangkapan terhadap kliennya. Sebab, penangkapan terhadap Munarman dinilai menyalahi prosedur. Tak hanya soal penangkapan, tim kuasa hukum pun mengeluh akibat sulitnya menemui kliennya untuk memberikan pendampingan dan bantuan hukum.

Seperti diketahui, Munarman ditangkap dari kediamannya bilangan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, oleh puluhan anggota Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri, Selasa (27/4/2021) sore kemarin. Munarman langsung diboyong ke Rumah Tahanan (Rutan) Polda Metro Jaya dengan mata tertutup. Pria yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan Pasal 28 ayat (1) UU No.5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Mantan Sekum FPI ini disebut-sebut diduga terlibat dalam jaringan terorisme di tiga daerah yakni kasus baiat (pengambilan sumpah setia) di UIN Jakarta, baiat di Makassar, dan baiat di Medan. Untuk kasus baiat teroris di Makassar, mereka merupakan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS.  

Pengacara Munarman lainnya, M Hariadi Nasution menilai terdapat prosedur yang dilanggar oleh aparat kepolisian bila Munarman tak diberi akses pendampingan hukum. Merujuk Pasal 54, 55, dan 56 ayat (1) KUHAP, seorang terdakwa berhak mendapatkan pembelaan dari penasihat hukum yang dipilihnya sendiri. Terlebih ancaman pidana yang dialamatkan ke Munarman di atas 5 tahun. Dengan begitu, Munarman wajib mendapat bantuan hukum.

Hingga saat ini, kami sebagai kuasa hukum mengalami kesulitan untuk bertemu dengan klien kami,” ujar M. Hariadi seperti dikutip Antara, Rabu (28/4/2021).

Hariadi menampik kliennya terlibat dalam gerakan organisasi ISIS. Menurutnya, Munarman hadir dalam kegiatan seminar bukanlah dalam rangka pembaiatan. Sebaliknya Munarman, kata Hariadi, dalam beberapa kali kesempatan kerapkali mengingatkan masyarakat luas akan bahaya situs-situs atau ajakan yang mengarah pada aksi terorisme dan tindakan inkonstitusional lainnya.

Terhadap tuduhan keterlibatan klien kami dengan ISIS, sejak awal klien kami dan ormas FPI telah secara jelas membantah keras karena menurut klien kami tindakan ISIS tidak sesuai dengan yang diyakini oleh klien kami,” ujarnya.

Uji lewat praperadilan

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ahmad Suparji berpandangan penangkapan terhadap Munarman dilakukan atas dugaan keterlibatan tindak pidana terorisme yang didasarkan pada bukti permulaan yang dimiliki aparat penegak hukum. Nah tanpa bukti yang cukup, tentu tak dapat dilakukan penangkapan.

Menurutnya, soal adanya pandangan bahwa penangkapan tidak memenuhi hukum acara pidana, tak sesua nilai-nilai hak asasi manusia, maka jalan yang ditempuh dengan menguji keabsahan penangkapan tersebut melalui mekanisme praperadilan. “Mekanisme inilah yang disediakan oleh hukum untuk menguji sah tidaknya penangkapan,” ujarnya kepada Hukumonline.

Sementara Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra berpendapat penegakan hukum pidana dapat menampakan dua wajah berbeda. Satu sisi dianggap sebagai penegak hukum sepanjang dapat membuktikan kesalahan tersangka berdasarkan alat bukti yang cukup dan sah. Sisi lainnya, dapat dianggap kesewenang-wenangan aparat akibat adanya pro kontra publik atas penangkapan Munarman yang diduga terlibat dalam aksi pembaiatan kepada salah satu organisasi radikal teroris di Medan, Jakarta, dan Makassar beberapa tahun lalu.

Azmi pun mendorong agar pihak Munarman menguji soal sah tidaknya penangkapan ataupun penetapan tersangka. Menurutnya dengan pranata hukum praperadilan bakal menguji, memeriksa dan memutus bila terdapat adanya penyimpangan. Termasuk sebagai mekanisme komplain dan kontrol terhadap kemungkinan tindakan upaya paksa maupun kesewenang-wenangan aparat dalam menangkap, menggeledah, ataupun penetapan tersangka.

Lebih lanjut, Dosen Hukum Pidana Fakutas Hukum Universitas Trisakti itu berpendapat terdapat putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU/12/2014 yang intinya menyebutkan penangkapan tak boleh dilakukan secara sewenang-wenang, melanggar hukum dan hak asasi manusia. Selain itu, praperadilan sebagai upaya mengawasi proses penegakan hukum.

“Disinilah fungsi hukum acara untuk menyeimbangkan kepentingan perlindungan masyarakat atau seseorang bila disandingkan dengan kewenangan aparatur hukum melalui permohonan praperadilan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait