Alasan Sejumlah Tokoh dan Lembaga 'Gugat' Perppu Penanganan Covid-19
Utama

Alasan Sejumlah Tokoh dan Lembaga 'Gugat' Perppu Penanganan Covid-19

Majelis panel meminta para Pemohon memperbaiki dan memperjelas kedudukan hukum dan hak konstitusional yang dirugikan dengan berlaku Perppu No. 1 Tahun 2020 ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

“Skema pelaksanaan APBN dalam UU Keuangan Negara ini sebenarnya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi permasalahan perekonomian sebagai akibat wabah Covid-19,” kata Ahmad menjelaskan.

 

Potensi korupsi dan imunitas

Kuasa Hukum Pemohon lain, Zainal Arifin Hoesein menilai Pasal 27 ayat (1) Perppu Penanganan Covid-19 ini memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Hal tersebut karena di dalam pasalnya disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemik, termasuk dalam bidang kebijakan perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara.

 

Dengan demikian, menurutnya norma a quo memberi keistimewaan bagi pejabat tertentu untuk menjadi kebal hukum. Ketentuan ini menunjukkan pula Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberi amanat untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tidak dapat melaksanakan tugasnya apabila merujuk ketentuan tersebut. “Dengan demikian, DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut,” tegasnya.

 

Salah satu Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 Boyamin Bin Saiman mengutip Pasal 27 ayat (1) Perppu ini yang menyebutkan biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukan kerugian negara. Padahal sumber keuangan tersebut berasal dari keuangan negara. Hal ini memberi imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan. “Pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum.”

 

Menurutnya, dalam Pasal 27 ayat (2) Perppu terdapat kata “jika” yang dapat saja dijadikan dalih bagi Presiden atau Pemerintah untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum. Karena itu, kata “jika” dapat bersifat multitafsir dan pejabat akan berlindung dari frasa “itikad baik” untuk lepas dari tuntutan hukum.

 

Merujuk UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, menyatakan dalil sebuah kebijakan dengan itikad baik dan merugikan keuangan negara harus diuji melalui proses hukum yang terbuka. Sehingga tidak boleh ada istilah itikad baik berdasar penilaian subjektif oleh penyelenggara pemerintahan.

 

“Jika imunitas ini perlu diberikan, maka batasannya harusnya bersyarat, sehingga kekebalan ini seharusnya tidak merugikan rakyat termasuk para Pemohon,” kata Boyamin di hadapan Majelis Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P. Foekh.

Tags:

Berita Terkait