Amnesty International: Sidang Kedua Pengadilan HAM Kasus Paniai Menunjukan Kejaksaan Tidak Serius
Terbaru

Amnesty International: Sidang Kedua Pengadilan HAM Kasus Paniai Menunjukan Kejaksaan Tidak Serius

Dari 12 saksi yang diminta tim jaksa penuntut umum untuk diperiksa, tapi yang hadir hanya 4 saksi dengan latar belakang anggota kepolisian. Tidak ada saksi yang hadir dari kalangan warga sipil.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Proses persidangan kasus pelanggaran HAM berat Paniai tahun 2014 terus berlanjut. Sidang kedua kasus Paniai digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu (28/09/2022) dengan agenda pemeriksaan saksi. Direktur Eksekutif Amnesty International sekaligus pengajar STH Indonesia Jentera, Usman Hamid, menilai persidangan kedua itu berjalan tidak optimal. Hanya 4 saksi yang hadir dari 12 saksi yang diminta tim jaksa penuntut umum untuk diperiksa.

Keempat saksi yang hadir itu berlatar belakang anggota Polri, tidak ada satu pun warga sipil. Sidang juga sempat terhambat karena salinan berkas perkara termasuk berita acara pemeriksaan terhadap para saksi belum diterima pihak terdakwa dan tim penasihat hukum. “Fakta ini semakin menunjukkan tingkat keseriusan Kejaksaan Agung yang patut dipertanyakan,” kata Usman dikonfirmasi, Senin (3/10/2022).

Usman menilai tim JPU tidak berupaya optimal membuktikan unsur sistematis atau meluas yang menjadi unsur penting dari pasal mengenai kejahatan kemanusiaan yang diatur Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal itu terlihat dari sidang pertama dimana tim JPU menyampaikan dakwaan yang kabur dari konteks peristiwa dan konsep pelanggaran HAM berat di hadapan terdakwa tunggal dan penasihat hukumnya. Kemudian diperkuat dalam sidang kedua ini tidak ada pembahasan komprehensif mengenai Operasi Aman Matoa V yang menjadi salah satu latar belakang peristiwa dalam Laporan Penyelidikan Komnas HAM.

Dalam sidang pemeriksaan saksi itu, Usman mencatat kesaksian 2 aktor pelaku langsung di peristiwa Paniai 2014. Kesaksian ini muncul dari saksi pertama yakni Briptu Andi Ridho Amir yang menyebutkan nama yakni Gatot (Anggota Provost) yang menembak korban di depan Koramil Paniai hingga tewas dan Jusman (Anggota TNI) yang menikam korban hingga tewas.

Dengan bekal kesaksian ini dan juga identifikasi pelaku oleh Komnas HAM yakni pelaku lapangan, komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, dan pelaku pembiaran, menurut Usman semakin kuat alasan Kejaksaan Agung dan Pengadilan untuk tidak hanya memproses satu orang sebagai pelaku. Usman mencatat sedikitnya ada 3 hal dalam proses persidangan kedua kasus pelanggaran HAM berat Paniai 2014.

Pertama, kejaksaan tidak serius dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada korban dan juga publik atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Peristiwa Paniai 2014. Kedua, pengadilan HAM wajib menggali fakta dari pihak selain narasi yang dikembangkan dari saksi yang dihadirkan oleh tim JPU. Ketiga, pengadilan HAM wajib menindaklanjuti kesaksian yang menyebutkan sejumlah nama terduga pelaku lain untuk turut diperiksa dan dimintai pertanggungjawabannya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Dr Ketut Sumedana, menjelaskan JPU yang dipimpin Direktur Pelanggaran HAM Berat pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Dr Erryl Prima Putera Agoes, menghadirkan 4 saksi dalam sidang kasus pelanggaran HAM berat Paniai 2014. Keempat saksi itu terdiri dari Briptu ARA, Briptu AOW, Bripka RB, dan AIPDA HW.

Majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut yakni Ketua Majelis Hakim ad hoc Pengadilan HAM Berat Sutisna Sawati, S.H., Hakim Anggota Ir. Abdul Rahman Karim, S.H., Hakim Anggota Sofi Rahma Dewi, S.H., M.H., serta Hakim Anggota Siti Noor Laila. “Sidang ditunda dan akan kembali dilanjutkan pada Senin 3 Oktober 2022 dengan agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh JPU,” kata Sumedana sebagaimana dikutip laman kejaksaan.go.id, Rabu (29/9/2022) lalu.

Tags:

Berita Terkait