Analisis Yuridis Pengambilan Paksa Anak oleh Orang Tua
Kolom

Analisis Yuridis Pengambilan Paksa Anak oleh Orang Tua

Khususnya bagi orang tua yang tidak dapat hak asuh anak, pengambilan paksa tersebut mempunyai konsekuensi hukum pidana yang diatur dalam Pasal 330 KUHP.

Bacaan 6 Menit
Achmad Roni, S.H., M.H. Foto: Istimewa
Achmad Roni, S.H., M.H. Foto: Istimewa

Selain untuk beribadah, perkawinan juga bertujuan untuk memiliki keturunan. Suami dan istri yang telah mempunyai anak memiliki kewajiban untuk memelihara anak sampai anak tersebut mencapai usia dewasa. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa orang tua meskipun telah bercerai tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Selanjutnya dalam pemeliharaan anak asas yang paling penting sebagaimana Undang-Undang Perlindungan Anak adalah kepentingan terbaik bagi anak.

Hak asuh anak setelah perceraian lebih lanjut aturanya terdapat di Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun atau disebut belum mummayiz adalah hak ibunya. Setelah anak mencapai usia dewasa maka anak akan memillih untuk tinggal bersama ibu atau ayahnya dengan biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab ayah.

Persoalan timbul ketika orang tua yang bercerai mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dan kepentingan anak dan tidak ada yang mengalah. Oleh karena itu untuk menentukan pihak mana yang akan memiliki hak asuh anak dilakukan permohonan hak asuh anak di Pengadilan.

Persoalan selanjutnya muncul ketika orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh anak melakukan tindakan paksa untuk mengambil anaknya. Apakah dibenarkan tindakan tersebut dilakukan mengingat yang mengambil anak adalah orang tuanya, dan mengingat di Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang sanksi pidana tentang pengambilan hak asuh anak dari orang yang berhak.

Baca juga:

Hak Asuh Anak Setelah Orang Tua Bercerai

Kegiatan mengasuh dan mendidik anak sampai anak mencapai usia dewasa merupakan pemeliharaan anak yang menjadi kewajiban dari orang tua anak. Bahasa Arab menyebutnya hadhlanah. Dalam arti sempit fiqh hadhlanah memiliki arti pengasuhan anak atau pemeliharaan anak. Sedangkan untuk arti yang lebih lengkap hadhlanah adalah pemeliharaan anak oleh orang tua sampai terjadinya putus perkawinan. Pemeliharaan anak juga terdapat di dalam KHI Pasal 1 huruf g, KHI menyebut pemeliharaan anak dengan istilah hadhlanah.

UU Perlindungan Anak menjelaskan untuk seseorang yang dapat dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Selanjutntya UU Perlindungan Anak juga menyatakan tentang kewajiban orang tua terhadap anak yaitu:

  1. memelihara, mendidik dan melindungi anak,
  2. menumbuhkembangkan anak sesuai bakat dan minatnya,
  3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak

Orang tua anak tetap memiliki kewajiban untuk melaksanakan pemeliharaan anak hingga anak mencapai usia dewasa, meskipun telah terjadi perceraian diantara orang tua. Hal ini ditegaskan pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan yang pada intinya menjelaskan kewajiban kedua orang tua untuk tetap memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Hal ini merupakan bentuk perlindungan bagi anak sebagaimana Pasal 1 ayat (1) UU Perlindungan Anak yaitu untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak nya agar tetap hidup, tumbuh, dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selanjutnya, UU Perkawinan mengatur tentang kewajiban orang tua kepada anak setelah perceraian terjadi, sebagaimana tercantum pada UU Perkawinan sebagaimaa berikut:

  1. Ibu dan ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya demi kepentingan anak, jika terjadi perselisihan tentang hak asuh anak maka Pengadilan yang akan memutuskan;
  2. Ayah tetap bertanggungjawab terhadap biaya pemeliharaan anak, jika ayah tidak mampu untuk memenuhinya maka Pengadilan dapat menentukan ibu untuk turut serta membiayai;
  3. Pengadilan bisa memberikan kewajiban kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.

Kemudian KHI juga mengatur tentang akibat yang muncul setelah perceraian terhadap anak, sebagaimana berikut:

  1. Anak yang masih berumur 12 tahun atau masih mumayiz hak asuh di pegang oleh ibunya;
  2. Anak yang telah mumayiz memilih untuk ikut siapa antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuh;
  3. Mengenai biaya pemeliharaan anak menjadi tanggungjawab ayahnya.

UU Perlindungan Anak juga mengatur tentang pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian:

  1. Anak mempunyai hak untuk tetap diasuh oleh orang tuanya, kecuali jika ada alasan atau aturan hukum menentukan lain.
  2. Bilamana terjadi pemisahan anak tetap berhak untuk:
    • Bertemu dengan kedua orang tuanya;
    • Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, perlindungan dan pendidikan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya;
    • Memperoleh hak anak lainnya.

Secara prinsip dari apa yang telah dijelaskan di atas tentang pemeliharaan anak setelah orang tua bercerai, kewajiban orang tua tetap untuk mendidik dan mengasuh anak demi tumbuh kembang anak, terus menjaga supaya anak mendapatkan hak-haknya.

Bahkan Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA Nomor 1 Tahun 2017 yang pada intinya menyatakan bahwa hakim harus memberikan perintah kepada pemegang hak asuh anak untuk memberikan akses bagi orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh anak untuk bertemu dengan anaknya. Hal ini dilakukan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak.

Sanksi Pidana Mengambil Paksa Anak

Perceraian yang dilakukan oleh orang tua menimbulkan polemik hak asuh anak. orang tua akan berebut mengklaim yang paling bisa memenuhi kebutuhan anak. Perebutan hak asuh antara orang tua ini seringkali berakibat pada upaya pemaksaan pengambilan anak dengan cara menculik, menyekap anak yang dilakukan oleh salah satu orang tuanya, hal demikian dilakukan dengan dalih pemeliharaan anak sebagai orang tuanya.

Polemik perebutan hak asuh anak yang dilakukan oleh orang tua justru telah melanggar hak-hak anak dan tumbuh kembang anak yang mana seharusnya anak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-haknya sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Apalagi jika perebutan tersebut dilakukan dengan tindakan berlebih seperti diculik, dibawa paksa dengan kekerasan, disekap, ditarik-tarik dan kekerasan fisik lainnya. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4, pasal 13, pasal 16 ayat (1) dan (2), UU Perlindungan Anak, yang pada intinya menyatakan setiap anak berhak untuk mendapatkan pengasuhan orang tuanya, berhak untuk mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, penganiayaan, dan anak juga berhak untuk mendapatkan kebebasan.

Secara umum jika orang tua membatasi hak-hak anak karena perebutan hak asuh anak dengan orang tua yang lainnya maka hal tersebut telah mengganggu kepentingan anak dan telah melanggar hak-hak anak itu sendiri.

Pengambilan paksa anak oleh orang tua yang tidak memiliki hak asuh anak juga mempunyai konsekuensi hukum pidana, hal ini diatur dalam Pasal 330 KUHP. Pasal a quo pada intinya menyatakan bahwa barang siapa yang dengan sengaja mengambil seorang yang masih belum cukup umur dari kekuasaannya atau pengawasannya sebagaimana telah diputuskan dia sebagai pemegang hak asuh diancan dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Selanjutnya dalam ayat 2 menyatakan apabila dalam hal ini ada tindakan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman dan anak masih belum cukup umum dikenakan pidana penjara paling lama sembuilan tahun.

Meskipun yang mengambil anak tersebut adalah orang tuanya, jika proses pengambilan anak tersebut dilakukan secara paksa maka tindakan tersebut masuk dalam Pasal 330 KUHP. Namun jika anak dengan kemauan sendiri tidak mau diasuh oleh pemegang hak asuh maka hal tersebut tidak masuk dalam ketentuan Pasal 330 KUHP.

R Soesilo dalam bukunya KUHP beserta Penjelasannya menyampaikan bahwa dalam peristiwa pada Pasal 330 KUHP harus dibuktikan bahwa memang pelaku yang mengambil anak tersebut, bukan keinginan dari anaknya sendiri yang melepaskan diri dari pemegang hak asuh anak yang sah.

Menurut Hoge Raad apabila anak yang belum dewasa melarikan diri dari pemegang hak asuhnya berdasarkan kemauannya sendiri sendiri kemudian meminta perlindungan kepada orang lain lalu orang lain tersebut tidak mau mengembalikan anak tersebut kepada pemegang hak asuh, maka hal tersebut tidak termasuk dalam tindakan mengambil paksa hak asuh anak dari pemegang hak asuh yang sah.

Anak tetap memilik hak untuk memutuskan akan diasuh oleh siapa, terlepas telah ada pemegang hak asuh anak yang sah. Apabila anak dengan kemauan sendiri pergi dari pemegang hak asuh anak hal tersebut tidak termasuk delik yang ada di pasal 330 KUHP. Karena itu bicara tentang delik Pasal 330 KUHP harus dibuktkan terlebih dahulu apakah tindakan pengambilan anak dari pemegang hak asuh anak atas kemauan anak atau memang tindakan paksa.

Kesimpulan

Orang tua tetap memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan anak meskipun orang tua telah bercerai. Pemeliharaan anak meliputi kewajiban orang tua untuk mendidik dan mengasuh anak demi tumbuh kembang anak, terus menjaga supaya anak mendapatkan hak-haknya termasuk bertemu dengan orang tua.

Apabila orang tua anak yang tidak mempunyai hak asuh anak mengambil paksa anak tindakan tersebut mempunyai konsekuensi hukum pidana yang diatur dalam Pasal 330 KUHP. Peristiwa pada Pasal 330 KUHP harus dibuktikan dengan adanya paksaan, bukan dari kemauan anak itu sendiri. Apabila anak dengan kemauan sendiri pergi dari pemegang hak asuh maka tindakan tersebut tidak masuk dalam delik Pasal 330 KUHP.

*)Achmad Roni, S.H., M.H., Pengacara Publik YLBHI – LBH Surabaya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait